Minggu, 10 Agustus 2014

Peri Kecil yang Sirna (Berbahagialah dalam Kegelapan) #Part 9 - Apa lagi ini Tuhan?

Aku menatap hampa ke jendela ruangan ini sedang pikiranku melayang ke mana-mana. Bunda, apakah bunda baik-baik saja? Entahlah aku tak bisa menjelaskan bagaimana perasaanku terhadap bunda. Setelah aku dirawatnya sejak kecil bahkan sejak aku masih bayi, setelah aku menganggap bunda adalah ibu kandungku, dan aku melupakan seseorang yang seharusnya kupanggil mama, aku harus berpisah dengan wanita yang sangat aku cintai itu. Tuhan apa yang harus aku lakukan? 
Ditengah kekosongan itu tiba-tiba ada seseorang yang membelaiku dari sisi tempat tidur.
"Ah, Dokter Arshi.. Bagaimana dokter bisa ada di sini?" wajahku sumringah, moodku berubah, janjungku bergetar hebat. Lelaki ini, setelah sekian lama aku tak berjumpa dengannya dan kini dia datang untukku? Tuhan...
"Panjang ceritanya, bagaimana keadaanmu?"
"Baik, dok. Bahkan tak pernah sebaik ini." Aku memberikan senyum penuh arti padanya.
"Yakin?"
"ah dokter..."
"Hahaha. Tidak saya hanya bercanda. Ohiya saya ingin memberikan ini untukmu."
"Undangan dok? siapa yang akan me..." Aku membuka isi undangan itu dan ternyata..
"Saya Sirna, saya akan menikah dengan kekasih saya Siera. Saya harap kamu bisa datang. Ya sudah, saya harus kembali lagi ke rumah sakit karna saya masih ada janji dengan keluarga psien saya. Semoga lekas sembuh ya, Sirna."
Aku menatap kartu undangan itu, sekali lagi dengan tatapan yang kosong. Aku tak tahu apakah aku harus bahagia atau harus sedih dengan kabar gembira bagi dokter ini. Air mataku pun menetes, tapi aku masih tak mengerti apakah ini air mata bahagia atau air mata kesedihan..
Aku tahu, aku sangat paham. Pun jika Dokter Arshi mencintaiku, kami tak boleh hidup bersama. Bagaimana mungkin ia harus hidup bersamaku, yang jelas-jelas sudah kehilangan harapan untuk melanjutkan hidup. Aku tahu, bunda, ibu, dokter-dokter itu, dan mereka semua hanya membual tentang kesembuhanku. Aku mengerti, sangat mengerti. Mereka hanya ingin melihatku kuat untuk sesuatu yang sebenarnya mereka pun tak mampu menjalaninya.
Lalu, ketika kebahagiaanku, kekuatanku, kepercayaanku, mereka semua meninggalkanku satu persatu. Untuk siapa lagi aku harus bertahan. Tuhan....
Dan apa lagi ini! Sekarang mau apa lagi kau penyakit! tak cukup kau menjauhkanku dengan orang-orang yang aku cintai? apa lagi maumu? ahhhh!!!
"Bunda.... kepalaku sakit sekali... apa yang kau lakukan lagi sekarang penyakitku.. aku mohon... bunda..." 

Peri Kecil yang Sirna (Berbahagialah dalam Kegelapan) #Part 8 - Apakah Bahagia itu Harus dengan Perpisahan?

Entah kenapa setelah mendengar bunda berbicara seperti itu refleks air mataku menetes. Entahlah apa yang harus aku rasakan, entahlah. Ketika Tuhan telah mendengarkan doaku ketika Tuhan pun telah mengabulkannya, aku tak tahu harus bersikap seperti apa. Rasanya aneh. Yayaya ini adalah impianku sejak ya mungkin sejak aku lahir tapi... tapi bunda? Aku terlanjur begitu mencintai bunda. Aku begitu mencintai bunda. Dan Tuhan... mengapa saat ini? Mengapa saat aku mulai ingin selamanya berada disamping bunda. Tuhan.. mengapa?

Tanpa sadar, bunda yang sedari tadi menatapku dan menyaksikan tetesan air mataku membasahi pipiku mendekapku lembut. Membawaku ke dalam pelukannya. Seraya membisikkan kata-kata cinta untukku.
"Sirna... Bunda tahu, bunda paham berat rasanya unutk kita berpisah. Tapi sayang ini impianmu. Ini juga yang terbaik untukmu. Karena kamu harus sembuh sayang." Bunda melepaskan pelukan hangat itu dan menatapku dalam dalam. "Sayang, kamu pasti bahagia. Karena bunda pun akan sangat bahagia ketika kamu sembuh, kamu terlepas dari semua penderitaanmu."
"Tapi bun.. da..." Tangisku memuncak, tangisku memecah kata-kata yang ingin aku ucapkan. "Tapi bun.. da..., Apakah baha..gia itu harus de..ngan perpisa..han?"
"Sini sayang.." Bunda kembali memelukku erat, air matanya menetes tak kuasa menahan kesedihannya.

*****
"Sirna.. kamu sudah sadar?" tanya ibu Maria
"Ibu... hmm bunda mana? Aku.. di rumah sakit ya?"
"Iya sayang.. bundamu sudah pulang. mulai hari ini kamu tinggal bersama ibu ya, ibu akan berikan perawatan yang terbaik untuk kamu. Oh ya.. minggu depan kita akan ke Singapura untuk perawatanmu. makanya kamu harus cepat pulih ya.. bangkitkan lagi semangatmu sayang." Ibu Maria mengecup keningku dengan penuh cinta. aku hanya bisa terdiam dan menangis, aku bisa merasakan betapa Ia tulus mencintaiku dan ingin merawatku.

Aku menatap ke luar jendela, sambil berfikir dan entah mengapa aku teringat dengan dua orang itu, dua orang yang aku cintai. Bunda, dan.. Dokter Arshi..
"Apakah bahagia itu harus dengan perpisahan?"

Kepada Rembulan Ramadhan di 30 Juni 2014

Kepada Rembulan di awal Ramadhan
atas apa yang tengah aku derita
dalam peluh aku berucap doa
atas apa yang tengah mendera
aku mencoba menghilangkan rasa
atas apa yang tengah memaksa
ketika tangan-Mu mulai merangkul
membelai hatiku dengan lembut
ketika Kau mengajarkanku
dengan cinta dan kasih sayang-Mu
dengan air mata dan rasa bahagia

Kepada Rembulan di awal Ramadhan
ketika Engkau membuatku merasa tenang
ketika Engkau menitipkan rasa sakit
ketika Engkau meniupkan kasih-Mu
dari langit itu
ke sini
tanah yang juga milik-Mu

Kepada Rembulan di awal Ramadhan
di hari kedua menginjak bulan suci ini
di hari ke-30 di bulan Juni ini
aku merasa ketakutan
pada celah hati yang mana
entahlah
aku takut jika ini adalah Ramadhan terakhirku

Kepada Rembulan di awal Ramadhan
sampaikan salamku kepada Raja Manusia
sampaikan salamku kepada sang pemilik Shubuh
sampaikan terimakasihku atas kesempatan ini
kesempatan menjalin ukhuwah yang sempat terputus
ikhlas karena rindho dan cinta-Mu padaku
ikhlas karena cintaku pada-Mu..

Kepada Rembulan di awal Ramadhan
di hari ke-30 di bulan Juni

Ku Titipkan Serpihan itu Kepadamu

Jika seandainya Tuhan kemudian memberi alasan untuk kita bersama, mungkinkah kau akan tetap mengelak? Saat kata-kata sudah tercacat dan tinggal suara manis itu menyelundup mengiang dan akhirnya menjadi bagian dari catatan itu. Kini, secerca cinta dan harapan yang sudah aku kubur dalam-dalam, ku raih dan ku gantungkan di atas kepalaku. Aku tahu terkadang apa yang aku harapkan terlihat mustahil untuk menjadi kenyataan, tapi bukankah Tuhan Maha Mendengar, termasuk mendengar harapan-harapan dari ciptaan-Nya. Dan serpihan itu, yang katamu tak berguna itu, aku titipkan padamu sekali lagi. Aku tahu, ini terlalu menggelikan, tetapi ini yang benar yang aku tahu. Aku tidak berharap kau menyatukannya, aku hanya berharap kau menjaganya, tanpa kau buang dan kau tukarkan serpihan itu pada orang lain. Dariku, yang selalu berharap.