Perkembangan
Islam di Kerajaan Gowa
Devina
Gary Oktiana (1306414570)
ABSTRAK
Tulisan ini
bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sejarah dan perkembangan Islam di
Kerajaan Gowa yang terletak di Sulawesi Selatan, dengan menjelaskan kehidupan
Kerajaan Gowa sebelum Islam datang, dan kehidupan Kerajaan Gowa setelah Islam
datang. Kemudian dijelaskan juga pada masa
pemerintahan siapa dan bagaimana Kerajaan Gowa mencapai masa kejayaanyannya serta bagaimana Kerajaan Gowa bisa
sampai pada titik keruntuhannya. Tulisan ini
juga menjelaskan
raja-raja serta peninggalan-peninggalan Kerajaan Gowa. Metode yang penulis gunakan adalah dengan membaca dokumen
dari berbagai sumber. Dari penulisan ini penulis menemukan bahwa Kerajaan Gowa
sangat berperan penting dalam penyebaran agama Islam di daerah Sulawesi dan
sekitarnya. Kerajaan Gowa yang berdiri sekitar abad
ke-14 dan mulai menjadi Kerajaan Islam pada 09 November 1607, berhasil
mengislamisasi kerajaan-kerajaan di daerah Sulawesi dan beberapa wilayah di
Kalimantan dan Nusa Tenggara. Kerajaan Gowa juga memiliki kekuatan militer yang
sangat kuat, pada masa Sultan Hasanuddin, kerajaan ini mampu berkali-kali
mengalahkan Belanda dalam pertempuran. Sayangnya, kerajaan ini harus runtuh
dengan politik adu domba yang dilakukan Belanda dengan bantuan Aru Palaka yang
tak lain adalah Raja dari Kerajaan Bone, dengan sebuah perjanjian yang disebut
dengan perjanjian Bongaya yang isinya adalah Sultan Hasanuddin harus
menyerahkan Kerajaan Gowa kepada VOC atau Belanda. Maka, sejak ditanda
tanganinya perjanjian tersebut di Batavia pada tanggal 18 November 1667,
Kerajaan Gowa resmi jatuh ke tangan Belanda, dan itulah akhir dari sebuah
kerajaan Islam yang sangat besar dan kuat di Sulawesi Selatan yang bernama
Kerajaan Gowa.
Kata kunci: Benteng Sumbaopu, Dato’ Ri Bandang, Dato Ri’ Patimang, Dato’
Ri Tiro, Ekspansi, Islam, Islasmisasi, Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan, Sultan Alauddin, Sultan Hasanuddin.
A.
PENDAHULUAN
Kerajaan Gowa adalah kerajaan Islam terkuat
dan terbesar di Sulawesi Selatan. Banyak kerajaan-kerajaan di daerah Sulawesi
yang ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa, seperti Kerajaan Bone, Kerajaan Wajo,
Kerajaan Luwu dan lain-lain.[1] Selain berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan
lain, Kerajaan Gowa juga memiliki seorang tokoh yang dikenal sebagai “Ayam
Jantan dari Timur”[2] yang sangat terkenal karena perjuangannya
sebagai pemimpin pertempuran antara Kerajaan Gowa dengan para penjajah.[3]
Islam masuk
ke wilayah Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan pada saat pemerintahan Raja
Gowa X (1546-1565).[4] Seperti yang ditulis pada Lontara[5]Pattorioloang (Lontara Sejarah), pada masa Raja Tonipalangga[6] ini sudah terdapat perkampungan muslim di wilayah Makasar Sulawesi Selatan
yang penduduknya adalah pedagang-pedagang Melayu yang berasal dari berbagai
wilayah.[7] Oleh karena Islam terus berkembang di daerah
ini, Kerajaan Gowa akhirnya menjadi Kerajaan Islam.
Banyak sejarah yang mencatat bagaimana
Kerajaan Gowa sangat berperan dalam perkembangan Islam di Sulawesi Selatan
dengan kekuasaannya. Selain itu juga Kerajaan Gowa tercatat sebagai salah satu
kerajaan yang ikut andil dalam usaha perlawanan terhadap penjajah yang datang
dari Eropa.[8] Hal ini tak luput dari peran raja-raja
Kerajaan Gowa yang arif dan bijaksana, serta semangat Islam yang kuat tertanam
dalam diri masyarakat Gowa untuk bersama-sama melawan penjajah.
Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana
sejarah dan perkembangan Islam di Kerajaan Gowa dengan menjelaskan kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik di Kerajaan Gowa sebelum Islam datang, dan setelah
Islam datang. Kemudian dijelaskan juga pada masa pemerintahan siapa dan
bagaimana Kerajaan Gowa mencapai masa kejayaanyannya serta bagaimana Kerajaan
Gowa bisa sampai pada titik keruntuhannya. Tulisan ini juga menjelaskan raja-raja
serta peninggalan-peninggalan Kerajaan Gowa.
B.
METODOLOGI DAN KERANGKA TEORI
1.
Metodologi
Metode
yang digunakan dalam penulisan ini
adalah metode sejarah yang meliputi empat tahap integral, yaitu: heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pada tahap heuristik penulis sebelumnya menentukan tema
apa yang akan dipilih kemudian mencari serta mengumpulkan sumber-sumber.
Kemudian masuk pada tahap verifikasi yaitu melakukan kritik terhadap data-data
yang terdapat pada sumber, dalam hal ini penulis menentukan sumber mana yang
lebih tepat. Pada tahap interpretasi penulis menafsirkan setiap fakta-fakta
yang terdapat pada data dan membuatnya menjadi suatu kesatuan yang harmoni.
Kemudian langkah terakhir yaitu historiografi atau penulisan sejarah.
2.
Kerangka Teori
Terdapat perbendaan pendapat tentang sejarah masuknya
Islam ke Indonesia yaitu yang pertama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7.
Bukti-bukti yang memperkuat pernyataan tersebut adalah Berita Cina pada zaman
Dinasti Tang yang menyatakan bahwa pada tahun 674 telah ada orang-orang Arab
yang menetap di Kanton. Groeneveldt juga mengemukakan bahwa pada waku
yang bersamaan, orang-orang Arab tersebut telah membuat sebuah perkampungan
Islam di Baros, Sumatera Barat. Bukti selanjutnya yaitu datang dari Kerajaan Sriwijaya
yang menyatakan bahwa pada saat Kerajaan Sriwijaya akan melakukan perluasan
wilayah pada abar ke-7 dan 8, telah terdapat orang-orang Arab yang menetap di
sana, sehingga diperkirakan telah ada beberapa orang Sumatera yang masuk Islam.
Serta bukti yang datang dari seorang ulama yaitu Hamka, yang mengatakan bahwa
pada abad ke-7, selain telah masuk ke Sumatera, Islam juga telah masuk ke Jawa.
Sedangkan teori yang ke dua mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke-13. Bukti yang memperkuat pernyataan tersebut adalah catatan perjalanan
Marco Polo yang mrnyatakan bahwa ia pernah singgah di Perlak sekitar tahun 1292
dan bertemu dengan orang-orang yang menganut Islam. Serta penemuan nisan makam
Raja Samudera Pasai yaitu Sultan Malik Al-Saleh, di nisan tersebut terdapat
angka tahun 1297.
Kemunculan kerajaan-kerajaan Islam sendiri dipicu oleh
kemunduran kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha seperti Kerajaan
Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha
yang besar. Mundurnya kerajaan-kerajaan tersebut disebabkan oleh penyerangan
dan lemahnya kepemimpinan, yang dampaknya adalah melumpuhkan perekonomian.
Dengan demikian faktor politik dan ekonomi menjadi dua hal yang sangat penting
bagi suatu kerajaan sebagai penentu berpengaruh atau tidaknya kerajaan
tersebut. Pada saat-saat genting di sinilah Islam mulai memberikan
harapan-harapan baru bagi masyarakat dengan sistem pemerintahan yang jauh lebih
baik sehingga banyak kerajaan-kerajaan baru bercorak Islam didirikan ataupun
kerajaan-kerajaan lama yang akhirnya diislamisasi.
C.
PEMBAHASAN
1. Kerajaan Gowa Sebelum Menjadi Kerajaan Islam
Beberapa sumber seperti lontara, sure’
galigo, dan sumber Portugis yang ditulis oleh Tomé Pires[9], mengatakan bahwa Kerajaan Gowa berdiri
sekitar abad ke-14.[10] Raja pertamanya adalah Tumanurunga yang
merupakan seorang wanita, yang menurut sejarah, beliau adalah putri yang turun
dari khayangan.[11] Sebelum menjadi sebuah Kerajaan, daerah Gowa
terdiri atas sembilan negeri yaitu Tombol’, Lakiung, Saumata, Parang-parang,
Data’, Agang Je’ne’, Bisei, Kalli’ atau Kalling, Sero, dengan penguasa yang
berbeda. Para penguasa tersebut akhirnya bergabung menjadi sebuah wilayah yaitu
Gowa dengan kepala pemerintahannya yang disebut Paccallaya. Namun, mereka
merasa ada yang kurang karena belum dipilih seorang raja. Mereka ingin rajanya
bukan berasal dari salah satu dari mereka, hingga akhirnya mereka mendengar
kabar bahwa ada seorang putri yang turun dari khayangan, dan dijadikanlah ia
sebagai Raja Gowa yang pertama.[12]
Namun, Menurut buku Negarakertagama yang
ditulis oleh Mpu Prapanca pada masa Majapahit, sebelum menjadi kerajaan Gowa,
daerah tersebut sudah dikenal dengan nama Makassar dengan sukunya yang disebut
dengan suku Makassar. Makassar dikenal sebagai sebuah negari, yakni negeri
Makassar.[13]
Kerajaan Gowa terletak di barat daya pulau
Sulawesi dengan ibu kotanya bernama Sumbaopu yang terletak di pantai selat
Makasar. Kerajaan Gowa sangat strategis karena berada di tengah-tengah lalu
lintas pelayaran dan perdagangan Indonesia bagian barat dan bagian timur dan
menjadi penghubung beberapa pulau besar seperti Jawa, Kalimantan, Sumatera,
Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Semenanjung Malaka.
a.
Kehidupan Sosial[14]
Kerajaan Gowa memiliki sistem pelapisan masyarakat yang terdiri
dari tiga golongan, yaitu Anak Karaeng, Maradeka, dan Ata.[15]
Anak Karaeng[16] adalah lapisan tertingi pada masyarakat Gowa, yang biasanya
mempunyai jabatan-jabatan penting di Kerajaan Gowa.[17] Anak karaeng terdiri dari
empat golongan yaitu anak tikno (anak bangsawan murni) yang terdiri dari anak pattola dan anak
manrapi’, anak sipue
(anak bangsawan setengah murni) yang terdiri dari anak sipuwe manrapi dan anak
sipuwe[18], anak cerak (anak bangsawan berdarah campuran), dan anak
karaeng sala (anak bangsawan rendah).[19] Dari golongan-golongan
tersebut, golongan anak tikno-lah yang dapat menjabat sebagai Raja Gowa.
Maradeka[20] adalah golongan rakyat biasa. Maradeka mempunya dua golongan yaitu
tobajik (orang-orang bijak), dan tosamarak (rakyat biasa).[21]
Ata[22] adalah lapisan terendah pada Kerajaan Gowa. Ata mempunyai tiga
golongan yaitu ata sossorang (sahaya warisan), ata nibuang
(sahaya yang dibuang atau diusir dari lingkungan keluarganya), dan tomanginrang
(sahaya yang tidak mampu membayar hutang).[23]
b.
Ekonomi
Pada
Kerajaan Gowa sebelum menjadi kerajaan bercorak Islam mengandalkan perdagangan
di sektor ekonominya. Ditambah dengan keadaan Sumbaopu sebagai ibu kota Kerajaan Gowa yang semakin hari semakin
ramai karena dijadikan pelabuhan transit bagi
pedagang-pedagang yang hendak ke Maluku. Hingga pada akhirya Sumbaopu menjadi pebaluhan terbesar di Indonesia bagian timur, dan sejak saat itulah keadaan perekonomian Kerajaan Gowa
semakin baik.[24]
c. Politik
Sistem politik yang diadopsi oleh Kerajaan
Gowa adalah Monarki Absolut. Dalam menjalankan pemerintahannya Raja Gowa
dibantu oleh beberapa pejabat kerajaan yaitu Pabbicara Butta (Juru Bicara) dan
Bate Salapanga (lembaga perwakilan rakyat).[25]
Sebelum dinyatakan sebagai Kerajaan Islam,
Kerajaan Gowa bersama dengan Kerajaan Tallo sering berperang melawan
kerajaan-kerajaan lain yang ada di Sulawesi Selatan seperti Kerajaan Luwu,
Bone, Soppeng, dan Wajo. Pada peperangan tersebut, Kerajaan Gowa bersama dengan
Kerajaan Tallo mampu menaklukkan Kerajaan Lawu, Wajo, dan Soppeng seperti yang
tertulis dalam Hikayat Wajo.[26]
2.
Kerajaan Gowa Setelah Menjadi Kerajaan Islam
Kerajaan Gowa mulai mengenal Islam ketika masa
Raja Tonipalangga yaitu sekitar abad ke-16.[27] Pada saat itu, Islam dikenalkan ke Kerajaan
Gowa melalui dua cara yaitu pertama dengan pedagang-pedagang dari
Makassar yang berinteraksi dengan penduduk muslim di perantauan. Kedua
interaksi yang berlangsung di dalam Kerajaan Gowa sendiri antara masyarakat
dengan para pedagang dari luar yang singgah di kawasan Kerajaan Gowa.[28]
Kerajaan Gowa menjadi Kerajaan Islam ketika
Mangkubumi Kerajaan Gowa yang juga menjabat sebagai Raja di Kerajaan Tallo, I
Malingkang Daeng Manyonri atau dikenal juga dengan nama Islamnya Sultan
Abdullah Awwalul-Islam menganut Islam pada malam Jumat, 9 Jumadil Awal 1014 H
atau 22 September 1605 M. Mengetahui
hal itu, I Mangarangi Daeng Manrabia yang pada saat itu menjabat sebagai Raja
Gowa XIV akhirnya memutuskan untuk ikut memeluk Islam dengan nama Islamnya
yakni Sultan Alauddin.[29]
Penyebaran Islam pada masa itu dilakukan oleh
tiga orang yang sangat terkenal sebagai penyebar agama Islam di Sulawesi
Selatan, yaitu Abdul Makmur Khatib (Dato’ ri Bandang), Khatib Sulaiman (Dato’
ri Patimang), dan Khatib Bungsu (Dato’ ri Tiro). Abdul Makmur Khatib inilah yang meng-Islamkan kedua pembesar
Kerajaan Gowa.[30]
Setelah Sultan Alauddin masuk Islam, terjadi pengalihan kerajaan
menjadi kerajaan bercorak Islam yang dilakukan secara besar-besaran. Bahkan
Sultan Alauddin mengeluarkan dekret[31]
Sultan Alauddin pada tanggal 9 November 1607 yang memutuskan Islam sebagai
agama kerajaan dan masyarakat Gowa.
Setelah Islamisasi Kerajaan Gowa, Islam sangat berkembang pesat di
sana. Bahkan pada sekitar pertengahan abad ke-17 M, di Kerajaan Gowa telah
berkembang ajaran Sufisme Khalwatiyah dari Syeikh Yusuf Al-Makasari.[32]
a.
Kehidupan Sosial
Meskipun
Kerajaan Gowa adalah kerajaan yang bercorak Islam, Kerajaan Gowa tetap memiliki
hubungan yang baik dengan bangsa Portugis yang membawa agama Kristen-Katolik.[33] Kerajaan Gowa juga masih menganut sistem
pelapisan masyarakat, namun tidak seketat pada saat sebelum Islam. Hal ini
dibuktikan dengan Sultan Hasanuddin yang menjadi raja Gowa ke-16 padahal Sultan
Hasanuddin bukanlah dari kalangan Anak Pattola.[34]
b.
Ekonomi
Kegiatan ekonomi di Kerajaan Gowa semakin berkembang ditandai
dengan kemajuannya di bidang perdagangan. Selain itu, Kerajaan Gowa juga
memiliki pelabuhan Sombaopu yang sudah menjadi pelabuhan internasional dengan
fungsinya sebagai tempat transit kapal-kapal yang mendatangkan rempah-rempah
dari Maluku.[35]
c.
Politik
Setelah menjadi kerajaan Islam, Kerajaan Gowa tetap melakukan
perluasan kekuasaan ke daerah-daerah lain. Dalam kegiatan ini, Kerajaan Gowa
ingin membuat kerajaan-kerajaan yang ditaklukkannya ikut menganut Islam. Pada
masa Sultan Alauddin lah, Kerajaan Gowa berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan
kecil di Sulawesi Selatan seperti Bulukumba, Bilusu, Sidenreng, Lamuru,
Soppeng, sebagian dari wilayah Tempe, Bulu’, Cenrana, Wawonio, Bilokka, Lemo,
Pekkalabu, Cempaga, dan lain-lain.[36] Selain itu, terdapat juga
kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan yang tunduk dan akhirnya menganut
Islam adalah Kerajaan Wajo yang resmi menganut Islam pada tanggal 10 Mei 1610
dan Kerajaan Bone yang menganut Islam pada tanggal 23 November 1611.[37] Dan yang lebih hebat
lagi, Kerajaan Gowa pada masa itu, berhasil menaklukkan daerah diluar Sulawesi
Selatan, seperti Bima, Dompu, Sumbawa, Buton, Kekelu, Sanggara, Pancana,
Tubungku, Banggai, Buol, Gorontalo, Larampong, Selaparang, Pasere, Kutai
Kartanegara, dan lain-lain.[38]
Selain penaklukkan dan perluasan wilayah Kerajaan Gowa juga
mengadakan persahabatan dengan raja Aceh dan raja Mataram.[39]
3.
Masa Kejayaan Kerajaan Gowa
Masa kejayaan Kerajaan Gowa adalah
ketika Kerajaan Gowa dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Sebelum kepemimpinan Sultan Hasanuddin yaitu Sultan Alauddin dan Sultan Malikussaid, Kerajaan
Gowa berhasil memperluas wilayahnya sampai ke Kalimantan bagian timur dan NTB
dengan keadaan militernya yang kuat. Namun, pada masa Sultan Hasanuddinlah,
Kerajaan Gowa mampu lebih memperkuat
militernya. Hal ini dibuktikan dengan kemenangan Kerajaan Gowa terhadap Belanda
pada beberapa titik daerah kekuasaannya dalam peperangan, sampai-sampai Belanda
kewalahan dan tidak sanggup memberikan perlawanan lewat segi militer.[40]
4.
Masa Keruntuhan Kerajaan Gowa
Masa kehancuran Kerajaan Gowa terjadi karena
kelicikan kaum penjajah. Sangat banyak kelicikan yang dilakukan oleh penjajah
–dalam konteks ini penjajah di sini adalah VOC, seperti perjanjian yang dibuat
dan dilanggar sendiri oleh VOC. Hingga yang terparah dan yang benar-benar
membuat Kerajaan Gowa hancur adalah ketika Sultan Hasanuddin diadu domba dengan
Raja Bone yang saat itu bekerja sama dengan VOC. Di mana Sultan Hasanuddin
harus menandatangani Perjanjian Bongaya yang ditandatangani di Batavia tanggal
18 November 1667.[41] yang isinya adalah menyerahkan Kerajaan Gowa
kepada VOC. Sejak saat itulah Kerajaan Gowa jatuh ke tangan VOC.[42]
5.
Raja-raja Kerajaan Gowa
Kerajaan Gowa sepanjang sejarahnya mengalami enam belas kali
pergantian raja, yang berarti ada 16 raja yang telah menjabat di Kerajaan Gowa,
raja-raja tersebut adalah:
1.
Raja Tumanurung adalah satu-satunya wanita yang menjadi raja di
Kerajaan Gowa.[43]
2.
Tomassalangga Barayang
Setelah
Raja Gowa ke-2 yaitu Raja Tomassalangga Barayang, tidak ditemukan sumber yang
menyebutkan siapa Raja Gowa ke-3 sampai Raja Gowa ke-5, tetapi langsung pada
Raja Gowa ke-6 yaitu Raja Tonangka Lopi.
3.
Tunatangka Lopi
4.
Batara Gowa
6.
Tumapaqrisiq Kallona
7.
Tunipalangga
8.
Tunibatta
9.
Tunijallo
10.
Tuni Pasuluq
11.
Tumamenang ri Gaukana (Sultan Alauddin)
12.
Tumamenang ri Papambatuna (Sultan Malikussaid)
13.
Tumamenang ri Balaq Pangkana (Sultan Hasanuddin)
6.
Peninggalan Kerajaan Gowa
Peninggalan-peninggalan
Kerajaan Gowa dibagi menjadi dua, pertama benda-benda
pusaka Kaerajaan Gowa yang biasa juga disebut Kalompoang[45] antara lain:
a.
Tiga benda pusaka yang harus ada pada saat pelantikan
Raja Gowa yaitu: Sudang (Senjata), Solokoa (Mahkota), dan Cindea (Kain).[46]
b.
Daeng Tanisamang adalah rantai yang terbuat dari emas
milik Raja Gowa I dan II yang berasal dari khayangan.[47]
c.
Rantai Leenyo, Rantai Manila, Rantai Koloro, dan Rantai
Bulo-Bulo yang juga terbuat dari emas.
d.
La’ lang Sipuwe atau payung separuh, di sebut payung
separuh karena bentuknya setengah lingkaran.
e.
Daeng ri Tamacina dan Lateakasi yaitu keris-keris
bersarung emas.
f.
La Tenriduni yaitu sebuah keris tanpa sarung emas.
g.
Piring-piring, mangkuk, dan porselin yang terbuat dari
emas.
h.
Bangkara Ta’rowe yaitu subang, giwang, atau anting yang
terbuat dari emas.
i.
Sulepe yaitu ikat pinggang yang terbuat dari emas.
j.
Potto Naga yaitu gelang yang terbuat dari emas.
k.
Tempat ludah dan tempat sirih yang terbuat dari emas.
Peninggalan-peninggalan Kerajaan Gowa jenis
kedua yaitu peninggalan-peninggalan yang bukan merupakan benda pusaka, yaitu:
a.
Lontara Pattorioloang adalah sumber sejarah.
b.
Rumah raja Gowa
c.
Kapal Phinisi
d.
Kapal Layar Kora-Kora.
e.
Bungung Barania yang artinya sumur berani adalah sumur
yang dianggap oleh masyarakat Gowa mempunyai khasiat memberikan keberanian.
Sungai ini biasa digunakan untuk memberi keberanian kepada masyarakat Gowa yang
akan berperang, caranya yaitu dengan mandi di bungung barania ini.
f.
Bungung Lompoa yaitu sumur agung yang biasa digunakan
untuk mencuci benda-benda pusaka Kerajaan Gowa.
g.
Bungung Bissua yaitu sumur yang digunakan para pemangku
adat ketika akan melaksanakan upacara-upacara adat.
D.
PENUTUP
Kerajaan
Gowa merupakan Kerajaan Islam terkuat dan terbesar di Sulawesi Selatan. Islam
sendiri mulai masuk ke Kerajaan Gowa sekitar abad ke-16 karena interaksi perbadagangan, dan mulai menjadi kerajaan Islam sekitar
awal abad ke-17 tepatnya ketika dikeluarkannya dekret Sultan Alauddin yaitu Raja Gowa
ke-XIV pada tanggal 9 November 1609 setelah sebelumnya Raja Gowa ke-XIV dan
Mangkubumi Kerajaan Gowa masuk Islam. Kerajaan Gowa menyebarkan Islam dengan cara ekspansi ke
kerajaan-kerajaan lain serta dengan cara-cara lain yaitu perdagangan,
pernikahan, dan lain-lain. Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya pada masa
Sultan Hasanuddin dengan kekuasaan wilayahnya yang luas dan dengan kekuatan maritim yang
dimilikinya sehingga disebut juga sebagai kerajaan maritim. Tetapi pada
akhirnya, kerajaan Gowa runtuh akibat kelicikan Belanda dalam keadaan Islam.
Pencapaian
Kerajaan Gowa yang patut dibanggakan adalah dalam perjalanan dakwahnya, kerajaan
ini mengalih tujuankan kegiatan ekspansinya yang tadinya hanya untuk perluasan
wilayah menjadi sarana dakwah Islam, dan akhirnya Kerjaan Gowa berhasil
mengislamisasi hampir seluruh wilayah Sulawesi juga sebagian wilayah di
Kalimantan dan Nusa Tenggara. Itulah mengapa Kerajaan Gowa mempunyai pengaruh
besar dalam perkembangan dan penyebaran Islam di Indonesia khususnya di wilayah
Sulawesi Selatan.
DAFTAR PUSTAKA
Cummings, William P. 2008. A Chain of Kings (The Makassarese
Chronicles of Gowa and Talloq, Netherlands: KITLV Press.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka.
Sagimun M.D. 1992. Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam
Jantan dari Ufuk Timur, Jakarta: Balai Pustaka.
Sewang, Ahmad M. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai
Abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suhartono.1993 Sejarah Perkembangan Kerajaan Islam dan
Perjuangan Melawan Kolonialisme. Yogyakarta: Widya Utama.
http://kbbi.web.id/dekret.
Lampiran
PETA KEKUASAAN
KAPAL PHINISHI
AL-QUR’AN TULISAN TANGAN
SALOKA
MASJID
PAKAIAN
[1] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 78-79.
[2] Gelar yang diberikan kepada Sultan
Hasanuddin.
[3] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 80.
[4] Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI
sampai Abad XVII), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 1.
[5] Lontara adalah sebuah naskah kuno yang pada mulanya ditulis pada
daun lontara.
[6] Raja Tonipalangga adalah Raja Gowa X yang memerintah dari tahun
1546 M sampai 1565 M.
[7] Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI
sampai Abad XVII), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 1.
[8] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 80-82.
[9] Tomé Pires adalah seorang apoteker dari Portugal yang menulis buku Summa
Oriental tentang Jawa dan kerajaan Sunda yang menjadi salah satu sumber
sejarah tertua di Kota Jakarta. Lihat http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3312/Tome-Pires
[10] Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI
sampai Abad XVII), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 15-16.
[11] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 27.
[12] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 32-33.
[13] Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI
sampai Abad XVII), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 15-16.
[14] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 20.
[15] Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI
sampai Abad XVII), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 32
[16] Anak Karaeng artinya anak-anak raja.
[17] Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI
sampai Abad XVII), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 32.
[18] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 44.
[19] Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI
sampai Abad XVII), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 30-31.
[20] Maradeka artinya orang-oran yang merdeka.
[21] Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI
sampai Abad XVII), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm 31.
[22] Ata artinya sahaya atau budak.
[23] Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI
sampai Abad XVII), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 31
[24] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 91.
[25] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 28-29.
[26] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 78-79.
[27] Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI
sampai Abad XVII), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 1.
[28] Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI
sampai Abad XVII), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 71.
[29] Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI
sampai Abad XVII), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 2.
[30] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 90.
[31] dekret /dek·ret/ /dekrét/ n keputusan (ketetapan) atau perintah yg
dikeluarkan oleh kepala negara, pengadilan, dsb; lihat
http://kbbi.web.id/dekret.
[32] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 80.
[33] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 79.
[34] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 102-103.
[35] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 80.
[36] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 90.
[37] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 79.
[38] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 90.
[39] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 90.
[40] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 146.
[41] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 82.
[42] Suhartono. Sejarah Perkembangan Kerajaan Islam dan Perjuangan
Melawan Kolonialisme, (Yogyakarta: Widya Utama, 1993).
[43] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 27.
[44] William P. Cummings. A Chain of Kings (The Makassarese
Chronicles of Gowa and Talloq, (Netherlands: KITLV Press, 2008), hlm.
29-49.
[45] Kalompoang artinya
benda-benda kebesaran Kerajaan Gowa. Lihat: Sagimun
M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari Ufuk Timur, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1992), hlm 50.
[46] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 51.
[47] Sagimun M.D, Pahlawan Nasional SULTAN HASANUDIN Ayam Jantan dari
Ufuk Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 51.