Minggu, 22 Desember 2013

Payung Hitam dan Senja

Aku hanyalah seorang wanita biasa. Ibu biasa. Yang mendadak menjadi luar biasa karena anakku. Membesarkannya hingga ia bisa tersenyum seperti yang lainnya. Meskipun saat ini ia telah tenang bersama ayahnya di surga, ia tetap terkenang seumur hidupku.
Hari itu putri tunggalku genap berumur 2 tahun. Tapi tahun itu rasanya sangat berbeda, tahun itu putri cantikku merayakannya ulangtahunnya tanpa ayah untuk pertama kalinya dan untuk selamanya. Suamiku meninggal dunia 5 bulan sebelum hari itu karena kecelakaan mobil saat ia dalam perjalanan menuju kantor selepas shalat Jumat. Ya, sejak itu aku harus mengurus putri semata wayangku seorang diri. Sirna, dia tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat cantik, namun entah mengapa ada sesuatu yang berbeda dengannya.
Putriku ini sangat sulit bila diajak berkomunikasi. Setiap aku menatap matanya, ia tidak pernah sekalipun menatapku. Pernah aku memaksanya, namun tiba-tiba saja ia berontak. Bahkan belakangan ini ia kehilangan kemampuan mengolah kata dalam berbicara yang padahal saat tahun pertamanya dulu, ia sangat pandai berbicara ya meskipun ucapan-ucapannya kurang begitu jelas. Aku takut terjadi sesuatu pada putriku. Aku sendiri belum memiliki pengalaman lebih tentang anak-anak seusianya. Saat aku mencoba berprasangka baik dengan berpikir mungkin anak-anak seusianya mengalami hal yang sama, aku menemukan beberapa sebayanya tidak seperti ini. Mereka malah antusias jika oranguanya atau orang lain mengajaknya berbicara. Ya Tuhan… ada apa dengan anakku?
Pagi itu aku memutuskan untuk membawa anakku ke dokter anak terbaik pilihan ibu mertuaku. Beliau menemaniku selama proses pemeriksaan.
“Bu, jujur Firna takut terjadi apa-apa dengan Sirna.” Ucapku yang diiringi beberapa tetes air mata.
“Wajar kalau kamu takut, Fir. Sirna kan anakmu. Kita berdoa saja, serahkan kepada Allah.” Ibu mertuaku menggenggam kedua tanganku sembari mengusap kepala Sirna.
Akhirnya dokter memanggil nama anakku, kami masuk ke ruang periksa, melihat proses pemeriksaan, lalu duduk untuk mendengarkan diagnosa dokter. Setelah basa-basi akhirnya dokter itu berkata mungkin Sirna memiliki keterlambatan, dan kamisemua harus sabar menunggu. Tapi firasatku berkata lain, ada sesuatu yang salah disini.
Tiga tahun berlalu, kini usianya sudah hampir 4 tahun, tapi semuanya masih sama seperti dulu, bahkan lebih buruk. Terkadang ia benar-benar sulit untuk dikendalikan. Tetapi terkadang ia bisa melakukan lebih dari anak seusianya. Ia selalu berteriak-teriak, terkadang bila aku sedang tidak mengawasinya, ia suka menyakiti dirinya sendiri. Pernah suatu ketika ia sedang bermain dengan bonekanya di halaman belakang rumahku, aku meninggalkannya untuk mengangkat telepon. Tiba-tiba saat aku kembali Sirna sudah tergeletak dengan hidungnya yang berdarah-darah dan keningnya yang memar. Di sana aku sangat menyesal. Lagi-lagi aku hanya bisa menangis, menangis, dan menangis. Aku membawanya ke rumah sakit terdekat, dan dari sanalah aku mengetahui hal yang sudah lama aku duga.
“Apa dok? Autisme”. Aku menangis lagi di sana. Tuhan ketakutanku benar-benar terjadi. Aku tak tahu harus bagaimana. Anakku satu-satunya, putri kecilku. Aku tahu seperti apa autis itu aku mengerti bagaimana menderitanya seorang autis. Saat kelak ia akan merasa dunia ini asing baginya, dunia ini yang menyiksanya. Aku tahu itu. Bagaimana saat ia tak mampu menerima apa yang salah dan kemudian ia kembali melukai dirinya. Bagaimana ia akan dijauhi oleh teman-temannya. Tuhan… Aku tak kuasa jika harus melihatnya seperti itu aku tidak mau melihat anakku tersiksa. Aku mencintai Sirna Tuhan…
Ya setelah hari itu aku bertekad. Aku tidak boleh lagi sesuatu terjadi pada anakku. Aku akan menjadi ibu yang terbaik untuknya. Aku harus melatih kesabaranku untuk membesarkan anakku. Aku tidak mau terpaku pada penyakitnya. Aku sendiri yang akan membawanya menjadi anak yang sukses kelak. Tidak aka nada mimpi-mimpi buruk yang menghantui masa depan anakku. Aku berjuang sekuat hati dan tenagaku untuk anakku.
Aku sengaja menyekolahkan anakku di taman kanak-kanak umum. Aku terus mendampinginya setiap hari. Di sekolah itu pun ia tak pernah mau bermain dengan teman-teman ataupun gurunya. Ia hanya akan duduk di mejanya dan bermain dengan satu mainan yang tidak akan pernah lepas dari tangan dan matanya. Pernah suatu saat ia mengamuk di sana dan hampir melukai dirinya lagi. Sirna menjerit-jerit bahkan selalu mencoba melepaskan diri dari pelukanku. Tapi akhirnya ia tenang kembali. Setelah itu, banyak orangtua-orangtua murid yang menginginkan agar anakku dipindahkan sekolahnya. Mereka mencibirku dan anakku. Mereka memaki-makiku seolah-olah anakku tak layak berada di sini. Mereka berkata seolah-olah anakku adalah penjahat yang akan melukai anak-anak mereka. Tuhan… ini yang membuat aku tak kuasa. Saat anakku tak direspon dengan baik.
“Sirna kita pulang ya? Yuk.” Aku mengajak Sirna pulang saat itu juga, ia berjalan denganku sembari menggerak-gerakkan salah satu jemarinya seperti biasanya. “Sirna mau eskrim?” tanyaku sembari menggendong Sirna. Tapi seperti biasa dia diam hingga aku harus mengulangi pertanyaanku sekali lagi baru ia menjawabnya.
“Mau Nda. Eskrim coklat Nda.” Jawabnya sambil tersenyum. Aku bersyukur saat itu ia mulai mau mengikuti peritahku atau sekedar menjawab pertanyaanku meskipun terkadang aku harus mengulangi pertanyaan itu berkali-kali.
Aku tetap menyekolahkan Sirna di taman kanak-kanak itu. Aku berjanji jika tidak akan terulang hal seperti saat ia mengamuk lagi. Sampai akhirnya pada hari itu acara wisudanya. Aku hanya mendampingi anakku di sana. Ia sengaja tidak aku ikutkan untuk maju ke depan seperti teman-temannya. Entah itu untuk bernyanyi, menari atau apa saja di sana. Aku takut anakku akan mengamuk lagi. Tapi saat aku membenarkan ikat rambut Sirna tiba-tiba gurunya memanggil Sirna.
“Penampilan selanjutnya dari Sirna. Ayo Sirna maju ke depan.” Begitu gurunya memanggil anakku.
Dan entah bagaimana caranya anakku langsung maju ke depan tanpa menghiraukan bundanya. Aku masih heran dan bingung harus bagaimana.
“Nah, teman-teman katanya Sirna mau nyanyi nih. Sirna mau nyanyi lagu apa sayang?” tanya ibu guru kepada Sirna.
“Bunda Piara.” Anakku menjawab dengan singkat tetapi sigap. Hal ini jarang aku lihat. Ini sebuah keajaiban dari Tuhan.
“Lagunya dinyanyikan untuk siapa?” tanya ibu guru kembali.
“Bunda.” Jawab anakku lagi sembali tersenyum lebar. Tuhan… ini hal terindah yang pernah aku rasakan setelah beberapa tahun terakir ini Tuhan… Terima kasih.
“Ayo sekarang kita simak ini dia Sirna.”
Tak lama Sirna pun bernyanyi..
“Bila ku ingat lelah ayah bunda… bunda piara piara akan daku… sehingga aku besarlah… waktu ku kecil hidupku amatlah senang… senang dipangku dipangku dipeluknya… serta dicium dicium dibanggakan namanya kesayangan…”
Terdengar suara tepuk tangan yang begitu meriah dari orang-orang yang menyaksikan suara indah Sirna. Tak kuasa akupun meneteskan air mataku kembali. Sambil berdiri dan bertepuk tangan.
“Itu dia… Sirna… Nah Sirna ada yang mau Sirna ucapkan untuk bunda?” Ibu guru kembali bertanya. Tapi Sirna diam cukup lama hingga gurunya memanggil namanya, “Sirna..”
“I Love You Bunda.” Tiba-tiba Sirna menjawab sembari berlari-larian menuju ke arahku. Aku pun tak ingin kalah dengan anakku. Aku berlari dan kami berpelukan. Aku membisikkan kata-kata ajaib itu yang sebelumnya jarang sekali ia katakana.
“I love you too sayang. Bunda sayang sama Sirna. Sanyang sekali, nak.”
Kamipun melapaskan pelukan ia tersenyum dengan mata yang kosong seperti biasa tapi itu yang tetap membuatnya cantik, senyumnya. Hari itu adalah hari yang tak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku. Karena hari itu adalah hari di mana aku sangat bahagia dan aku harus kehilangan kebahagiaanku untuk selama-lamanya. Saat acara belum selesai, anakku yang cantik itu ikut shalat dhuha denganku. Ia hanya mengikuti gerakan-gerakanku sambil tertawa sendirian. Setelah itu ia berdoa di sebelahku. Itu satu lagi keajaiban dari Tuhan untukku. Ia berdoa. Ia berdoa…
“Allah yang baik. Sirna titip bunda ya, bunda baik kok Allah, baik banget. Jagain ya, soalnya Sirna sayang banget sama bunda. Aamiin.”
“Sirna, kenapa bicara seperti itu sayang?” aku kembali menangis. Rasanya perih sekali mendengar anakku bicara seperti itu. Sakit… Tapi Sirna tidak menjawab pertanyaanku. Ia kemudian memelukku.
“Nda, ngantuk.” Kemudian ia pun tertidur pulas dipelukanku hingga aku membawanya kembali ke tengah-tengah acara wisuda ia tak jua terjaga. Saat acara pelepasan siswa dimulai dan nama Sirna dipanggil aku berusaha membangunkannya. Tapi dia tidak juga bangun. Aku memanggil-manggil namanya menggerak-gerakkan tubuhnya tapi tak jua bangun. Aku mulai panic. Aku berniat mengecek nafas dan nadinya. Tapi aku takut, aku takut menerima kenyataan. Aku mengingat-ingat apa yang ia katakana tadi. Badannya pun mulai mendingin. Aku semakin takut. Aku semakin gelisah. Semua orang di sana menjadi gundah. Akhirnya aku benar-benar menangis di sana hingga gurunya yang mengecek nafas dan nadinya. Dan beliau berkata.
“Innalillahi wainna ilaihi Roji’un… ikhlaskan ya bu. Sirna sudah bahagia di sana.”
Setelah itu aku tak lagi dapat mendengar orang-orang berbicara. Pandanganku kabur kemudian gelap.
Tak lama aku pun terbangun. Berharap semua hanya mimpiku, mimpi burukku. Tapi ternyata tidak. Orang tuaku, mertuaku, saudara-saudaraku sudah berkumpul. Bahkan mayat Sirna sudah siap untuk dimandikan. Aku menatap kosong ke arahnya.
“Firna, kamu mau memandikan anakmu?” tiba-tiba suara itu membangunakan lamunanku. Aku mengangguk tanda mengiyakan tanpa berkata apapun. Aku memandikan anakku untuk yang terakhir kali.
Nak, sini bunda buka pakaiannya bunda bersihkan badanmu sayang. Bunda pakaikan kamu shampoo dan sabun yang paling wangi agar nanti saat kamu bertemu Tuhan dan ayahmu, mereka akan bahagia. Sayang bunda ingat pertama kali bunda memandikanmu dulu. Putri bunda yang sangat cantik yang lahir normal. Sayang air ini yang akan mengantarkanmu ke surga. Nak, sudah selesai sayang, sini bunda pakaikan baju putih ini, baju ini yang akan menemanimu dikubur nanti. Nak, mari bunda antar kamu menuju rumah barumu. Dengarlah mereka semua bertasbih sambil mengiringimu menuju rumah barumu. Sayang lihatlah rumah barumu itu, semoga Tuhan melapangkannya untukmu sayang. Sayang bunda mencintaimu. Kamu yang menjadi hidup bunda. Karenamu bunda menjadi wanita yang kuat. Maafkan bunda jika bunda belum bisa membuatmu bahagia sayang. Maafkan bunda. Bunda telah berusaha sekuat tenaga bunda. Bunda bahagia sayang meskipun dalam keterbatasanmu. Payung hitam di senja ini yang akan membawa senyummu ke surga. I love you Sirna.
“Bu, Sirna sangat menyukai ek krim rasa cokelat dan brownies buatanku. Sirna senang bermain di luar rumah bersama beberapa mainannya. Sirna sering berputar-putar di hlaman rumah mengelilingi pohon-pohon di sana. Sirna tidak pernah takut pada binatang apapun. Dia anakku yang pemberani. Sirna sangat terlihat cantik saat ia sesekali tersenyum, saat ia tidu, dan saat ia tertawa. Sirna… Sirna sangat mencintaiku bu…”
“Ibu tahu, ayo kita tinggalkan ia di sini, hapus air matamu nak. Sirna ingin melihatmu lebih tegar lagi. Tersenyumlah. Ia ingin sekali lagi melihat senyummu, kekuatannya selama ini untuk terakhir kalinya. Ayo.”
****
“Itu dia… Sirna… Nah Sirna ada yang mau Sirna ucapkan untuk bunda? Sirna..”
“I Love You Bunda.”


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar