Minggu, 22 Desember 2013

Secarik Kertas Kiara

“Ki, cepet dong jalannya!”
“Ini udah yang paling cepet, Ra.”
“Ahh! Tuhkan Ki, kamu sih lama. Pak Andinya jadi udah pulang kan. Ini hari terakhir ngumpulin tugas Kiara. Aku sebel sama kamu Huh!”
Ahh, lagi-lagi karena kakiku ini, teman-temanku pergi..
“Kia.”
“Eh Arka.”
“Senyum dong. Teman-teman kamu kan masih banyak. Aku salah satunya.”
“Ah kamu, makasih ya..”
Dan lagi-lagi Cuma Arka yang ada di sini, di samping aku, menemani aku tanpa aku pinta. Tuhan.. Kau itu memang sangat adil.
Entah mengapa sejak aku mengenal Arka sewaktu di SMP dulu aku tidak lagi merasa sendirian di dunia ini. Eh, maksudku berdua, aku dan bunda. Ayahku sudah lama pergi meninggalkan kami, setelah kakekku tahu bahwa aku terlahir cacat, ayah dipaksa pergi meninggalkan kami. Keluarga ayahku memang keluarga yang sangat terpandang oleh kkarena itu, aku dianggap aib oleh keluarganya. Tapi tentu tidak dengan ayahku. Aku percaya itu. Bukan karena tega, tapi karena satu dan lain hal akhirnya ayah mengalah dan pergi meninggalkan kami. Begitulah yang aku tahu dari bundaku.
Sejak saat itu aku tinggal berdua dengan bunda. Bunda yangsangat aku cintai.
“Kiara sayang, selamat pagi sayang, selamat ulang tahun yang ke-15. Semoga Kiara selalu menjadi kebanggaan ayah dan bunda. Maaf ya sayang bunda hanya bisa berikan ini buat kamu”
“Ahh bunda makasih bun, ini sih bukan cuma bisa tapi ini istimewa buat Kia. Bandananya bagus banget bun, lebih bagus dari yang teman-teman Kia punya.”
“Coba pakai sayang, sini bunda bantu. Cantiknya..”
“Ah bunda.”
“Sayang kamu sudah mulai dewasa ya, kamu harus lebih banyak bersyukur. Ujian ke depan akan lebih sulit dari saat ini sayang. Kamu jangan pernah mengharapkan bantuan dari orang lain, malah seharusnya dengan kondisi kamu yang seperti ini kamu harus bsa membantu orang lain.”
“Tapi bun, bukannya itu sombong?”
“Beda sayang, kalau memang ada yang membantu kamu ya kamu harus menrimanya dengan senang hati, tapi bukannya jadi ingin di beri terus.”
“Oh iya aku mengerti bun.”
“Ayo mandi, bunda tunggu di meja makan ya sayang.”
Hari ini entah ada angin apa aku malas sekali untuk pergi ke sekolah, padahal hari ini aku akan berangkat bersama bunda, karena menurut bunda ada yang ingin bunda bicarakan dengan wali kelasku. Apa pembicaraannya? ya entahlah. Tapi akhirnya aku pergi ke sekolah bersama bunda. Di pintu gerbang kami berpisah. Arka memanggilku dari kejauhan sehingga akhirnya aku menunggu Arka. Tapi dari sudut mataku memandang, di ujung sana ada seorang..
Ya Tuhan, ada yang mau dicopet. Aku harus tolongin om itu. Aku harus menggagalkan pencopet itu.
Aku berlari dengan keadaan kakiku yang seperti ini. Di samping aku berlari, Arka yang melihat perbuatanku sigap dan mengetahui apa yang harus ia lakukan. Ku dengar ia meminta pertolongan kepada orang-orang di sekitar sekolahku sementara aku masih sibuk berlari.
“Nah, mau ke mana om? Siniin tasnya om!”
“Ah kamu bocah! Diam! Rasain nih!”
“Om..”
Sayang kamu sudah mulai dewasa ya, kamu harus lebih banyak bersyukur. Ujian ke depan akan lebih sulit dari saat ini sayang. Kamu jangan pernah mengharapkan bantuan dari orang lain, malah seharusnya dengan kondisi kamu yang seperti ini kamu harus bsa membantu orang lain.
“Kiara sayang bangun sayang Kiara!!!”
“Asya.”
“Bapak, Mas Kinan.”
“Jadi, yang menolongku itu, Kiara? Cucuku yang cacat?”
****
Pagi Bunda
Bunda, aku sayang bunda, sayang banget. Peluk cium untuk bunda. Nanti kalau bunda sudah baca surat ini jangan lupa peluk aku ya bunda tentu saja kalau aku sudah pulang sekolah. Nggak tau kenapa aku males berangkat sekolah pagi ini bun, tapi nggak tau kenapa juga aku kangen banget sama bunda. Padalah bunda nggak kemana-mana ya, malahmau pergi bareng aku. Makanya sambil nunggu unda selesai beres-beres aku nulis surat ini untuk bunda hehe.
Bunda…. I love you so much much much much :*****
Yours
Kiara Fabiana Azrua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar