Selasa, 16 Desember 2014

Hari Terakhir

Aku terkapar dalam tanah tandus di tengah-tengah pemukiman kumuh yang mungkin tidak akan pernah dijamah oleh para menteri dan petinggi negara. Saat itu, saat aku masih gemar bermain dalam terik matahari, dalam hujan deras. Saat aku masih ada dalam dunia kenikmatan, tanpa harus memikirkan sepatah dua patah kata yang terkolaborasi menjadi kalimat majemuk dan menjadi sebuah narasi tentang kehidupan. Saat itu jauh sebelum aku mengenal bagaimana berharganya setiap detik dalam waktu. Saat itu, saat aku kecil dulu.Kini aku telah beranjak dewasa. Aku seorang muslimah berjilbab yang baru berumur 18 tahun. Aku seorang mahasiswi fakultas kedokteran di salah satu universitas negeri di Indonesia. Lewat jalur beasiswalah aku dapat menghirup cita-citaku ini.Selama hidupku, aku tidak pernah merasakan bagaimana itu pacaran. Yang sekarang sudah terlalu vulgar apa yang disebut dengan pacaran tersebut. Karena aku hidup di lingkungan orang-orang yang taat agama. Orang-orang yang santun dan selalu menjaga harga diri mereka. Subhanallah, aku bangga dalam naungan mereka. Meskipun aku tidak menjadi seseorang yang 'berada' tetapi jiwaku tentram disini.Setiap subuh selalu ku dengar alunan lafadz-lafadz Allah dari kitab suci Al-quran yang selalu disenandungkan oleh seorang santri ikhwan dengan suaranya yang merdu. Membuatku selalu berada dalam kedamaian.Setiap ba'da maghrib ku dengar alunan pujian berupa shalawat kepada nabi besar Rasulullah SAW.Betapa beruntung menjadi warga kampung ini. Meski kebanyakan dari kami hanyalah seorang buruh dan pemulung, tapi kami yakin dan percaya tanpa melalaikan bahwa Allah Maha Adil. Mungkin tidak di secara materi kami berkecukupan tapi secara ilmu dan agama kami mampu.

"Ana, bangun nak. Ayo kita shalat subuh berjama'ah. Ana?" umi membangunkan ku dengan suaranya yang lembut. Aku pun terbangun dan langsung menjawab umi.
"Ana sudah bangun umi, tapi kepala ana pening sekali umi." jawabku.
Umi mengusapkan tangannya ke dahiku, "Demam nak, yasudah kita shalat dulu. Setelah itu makan, lalu kita pergi ke dokter."
"Biar aku minum obat warung saja dulu umi, biaya untuk ke dokter lebih baik dibelikan makanan untuk adik-adik."
"Ana, kamu harus sehat anakku. Umi tidak akan membiarkan anak-anak umi yang sedang sakit begitu saja. Umi tidak ingin berdosa Ana, untuk makan kita masih punya persediaan untuk 3 hari kedepan." jawab umi meyakinkanku.
"Ya sudah, mari kita shalat." 

Umi, wanita tercantik, terbaik, dan terhebat yang pernah aku temui. Aku diberi cinta yang teramat sangat dalam olehnya. Begitupun kedua adikku, Halwah dan Ima.Namaku Hasna Khansa Huwaida, adik pertamaku Zalfa Halwah Al-Adzra dan adik bungsuku Kahsva Al-Fathatunna Fatimah. Umiku Siti Rubiah dan abahku Ahmad Nabawi.Kami hidup berlima di gubuk kecil yang bagi kami adalah istana. Karna kami selalu membacakan ayyatul qur'an setiap hari. Sehingga faedahnya dapat kami rasakan. Yaitu kenikmatan atas kesederhanaan, tak pernah berputus asa. Kami pun tidak pernah menanamkan sifat iri dan dengki yang mengacu pada dosa. Umi selalu berkata, "Biarlah, hidup kita tidak seperti pejabat-pejabat di luar sana. Tetapi kita punya apa yang munkin oranglain tidak punya. Kebahagiaan dalam kesederhanaan. Karena sesungguhnya kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan di alam akhirat sana. Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang bahagia dan selamat dunia akhirat." begitu kata-kata yang membuatku selalu tidak dapat pergi jauh dari umi. Karena ini yang selalu dilakukan umi. Umiku tersayang selalu membuat perasaan takut menjadi tenang, gelisah menjadi ibadah, dan selalu mengajarkan apa-apa yang disunnahkan Rasul, diwajibkan dalam Al-quran, dan yang diharamkan dalam Al-quran. Umi adalah seorang panutan yang akan selalu menjadi penuntunku untuk selalu dalam Islam.

Aku bergegas menuju kamar mandi untuk segera mengambil air wudhu. Ku buka keran air, lalu ku basuh tangan, mulut, hidung berurutan sesuai rukun wudhu sampai ke kaki. Ku bacakan setiap anggota badanku dengan doa, ku niatkan dalam hati bahwa aku mensucikan diri untuk menunaikan shalat. Lalu ku bacakan doa sesudah wudhu.Lalu aku menuju sebuah mushola kecil didalam rumahku dan mengenakan mukna yang berwarna putih bersih. Kemudian kami shalat subuh. Imamnya adalah abahku. Sebelum abah berangkat mencari nafkah, abah selalu menyempatkan diri untuk menjadi imam sholat. Sebenarnya wajib bagi laki-laki yang menjadi imam shalat apalagi ia adalah imam bagi keluarganya sendiri.
"assalamualaikum warah matullah" abah mengucapkan salam yang menandakan kami telah selesai menunaikan shalat subuh.Setelah selesai aku berdiri dan berniat merapikan mukna dan sajadah ku. Tapi tiba-tiba semuanya gelap gulita. Ketika aku kembali membuka mata aku sudah berada di kamar bersama umi.
"Ana, kamu sudah sadar nak?" tanya umi.
"Ana pingsan ya umi?"
"Iya nak, tadi kamu pingsan, nah sekarang kamu makan lalu kita pergi ke dokter ya."
"Tapi umi, ana kan sudah bilang..."
"Umi juga sudah bilang kan? Umi tidak akan membiarkan anak umi sakit, apalagi kamu sampai pingsan begini. Sudah ayo makan."
"Baiklah umi." 
Aku memakan bubur yang sengaja dibuatkan oleh umi. Alangkah lezatnya bubur ini jika yang membuat adalah umi. Kemudian aku dan umi pergi untuk berobat ke dokter. Disana aku langsung diperiksa.
"Kamu terkena anemia atau darah rendah, kamu tidak boleh terlalu lelah. Harus banyak-banyak istirahat dan jaga pola makannya ya."
"baik dok." begitulah yang dokter sampaikan padaku. Penyakitku ini tidak terlalu membahayakan tapi juga tidak boleh diremehkan.Kemudian sampai dirumah aku meminum obat dari dokter ditemani umi. Selama aku sakit umi yang menyuapiku makan, umi yang mengantarku pergi ke kamar kecil, umi yang meninabobo-kan ku ketika hendak tidur sambil berkata, 
"cepat lah hilang penyakitmu ini nak, umi tidak tega melihatmu lemah seperti ini."
"doakan saja umi, karna doa umi lebih mulia daripada doa-doa yang lainnya"
"tentu saja akan selalu umi doakan. Sekarang kamu tidur nanti jika sudah tiba waktu minum obat, kamu akan umi bangunkan."
"assalamualaikum umi"
"waalaikumsalam"
*****
Hari ini kondisiku sudah membaik, aku pun sudah mulai beraktifitas seperti biasanya. Hari ini aku kuliah jam 9 pagi dan akan berakhir jam 3 sore. Selama kuliah aku selalu berusaha untuk hadir setiap ada mata kuliah karena aku tidak ingin mengecewakan umi dan abahku juga tidak ingin kehilangan beasiswa yang sudah dengan susah payah ku dapatkan. Oleh karenanya aku selalu berikhtiar untuk selalu menjadi yang terbaik.Siang ini cukup panas, terik matahari seolah menandakan bahwa inilah dunia orang dewasa yang sesungguhnya. Yang sebelumnya selalu aku inginkan tetapi ternyata tak semudah itu.
Hari ini juga tepatnya aku sudah ada di semester 6 yang berarti sudah 3 tahun lamanya aku kuliah disini. Tapi selama itu juga aku tidak pernah bertemu dengan seseorang yang dapat mengubah perasaanku. Sebenarnya jauh dalam hatiku, aku ingin sekali memiliki seseorang yang selalu ada untukku dan selalu memberiku motivasi. Bukan sebagai orangtua, saudara, maupun teman. Tapi karna aku tahu bahwa itu haram hukumnya maka aku menahan diri. Aku hanya berpasrah kepada Allah atas jodohku. Meskipun banyak orang-orang yang sudah punya rencana untuk menikah.Aku hanya ingin menjalani hidup layaknya seorang muslimah yang seharusnya. Aku hanya ingin mendapat ridho Allah agar selamat dan bahagia dunia dan akhirat.
Tanpa aku sadari sudah 10 menit aku duduk melamun di tempat duduk di bawah pohon rindang di halaman kampusku. Hingga ada seseorang yang membuyarkan lamunanku.
"Assalamualaikum" sapanya.
"Waalaikumsalam wr wb." balasku.
"Boleh saya duduk disini?"
"Oh silakan saja." 
Aku hanya tersenyum saat itu. Dia juga seorang mahasiswa, tadi aku tak mengenalinya. Parasnya subhanallah tampan, dan sepertinya budinya baik. Astagfirullah mengapa aku memikirkannya? Ya Allah ampuni aku.
"Anda kuliah disini juga?" tanyanya yang hanya ku balas dengan senyuman, "Fakultas apa? Dan semester berapa?" tanyanya lagi. 
"Saya di kedokteran baru saja semester 6. Anda?"
"Saya di psikologi sudah semester 8, oh ya nama saya Rizky."
"Hasna, panggil saja Ana."
"Salam kenal ya." dia tersenyum.
"Iya, Rizky permisi Ana ada mata kuliah sebentar lagi jadi harus ke kelas. Assalamualaikum."
"Oh iya. Waalaikumsalam"

Entah mengapa ada sesuatu yang terjadi dalam diriku yg sangat tidak biasa. Aku merasa sepertinya senyumku lebih bermakna dari biasanya, hariku menjadi terasa lebih indah. Ah aku bingung, tak pernah aku rasakan hal yang seperti ini. Ya Allah, tetap bimbing aku agar aku tidak tersesat.
Sejak saat itu hampir setiap hari aku bertemu dengan Rizky. Berbincang-bincang tentang banyak hal yang sangat menyenangkan. Berbagi makanan, minuman. Terkadang kami pun kerap berbagi rasa, saling mencurahkan isi hati kami satu sama lain. Aku nyaman berada di dekat dia.
Dan sore itu Rizky mengantarkanku sampai rumah.
"Terima kasih ya Ky, jadi ngerepotin. Oh iya ayo mampir dulu."
"Nggak kok na, lain kali saja ya aku masih ada urusan yang harus diselesaikan."
"oh ya sudah kalau begitu. Tapi janji ya lain kali."
"iya aku janji, ya sudah aku pergi ya na. Assalamualaikum."
"waalaikumsalam."
Aku segera membuka pintu dan masuk kedalam rumah. Itu bukan kali pertama kalinya Rizky mengantarkanku pulang selama 2 tahun terakhir ini. Dia bahkan sudah ku kenalkan pada umi dan abah. Tapi tetap hanya sebagai seorang sahabat.Tanpa sadar ternyata sembari membuka pintu aku tersenyum-senyum sendiri.
"Dor!" teriak Zalfa dan Fatimah.
"Astagfirullah kaliaan!" aku kaget sekaligus membentak kedua adikku.
"Maaf teh, habisnya teteh senyum-senyum sendiri sih kaya orang gila, hihi" celoteh Fatimah yang saat itu masih kelas 2 smp.
"Bukan orang gila, tapi orang jatuh cinta haha ciee teteh." tambah Zalfa menggodaku.
"Oh iya sama ka Rizky ya teh? Haha" tambah lagi Fatimah.
Bukannya memarahi mereka tapi aku malah jadi malu sendiri. Wajahku semakin menjadi-jadi merah merona. Apakah benar yang dikatakan kedua adikku? Apakah mungkin?
"Teteh! Melamun lagi. Tuh kan malah tambah merah mukanya!" celetuk Zalfa.
"Hus, sudah-sudah teteh mau shalat ashar. Jangan berisik." jawabku setengah marah tapi juga setengah malu.
"Kabur yuk teh, teh Ana nya ngamuk."
"Iya bener Fatimah, ayo lariiii!" mereka berdua lari ke luar sambil berteriak-teriak.
"eh nggak sopan ya kalian, teteh bilangin umi loh! Huh dasar anak kecil."
Tanpa disadari mereka seolah menyadarkanku akan hal yang tak pernah aku sadari. Apa iya memang itu yang ku rasa? Ah tidak tahu lah. Lebih baik aku shalat dulu.
Setelah selesai shalat dan berdzikir, umi menghampiriku.
"Ana." sapa umi lembut.
"iya umi, ada apa?" tanyaku.
"Entah kenapa umi ingin sekali melihatmu segera menikah, kuliah S1 mu kan sudah hampir selesai, umurmu juga sudah mencukupi. Umi takut tidak dapat menyaksikan hari bahagiamu. Apa kamu sudah punya calon?"
"Umi, jangan bicara seperti itu, jujur ana belum terfikir sampai kesana."
"Bagaimana jika umi kenalkan pada anak teman abah?"
"Ana ikut umi saja. Semua yang umi lakukan ana yakin itu yang terbaik untuk ana."
"Terima kasih ana, kamu memang anak yang saleha."
"Iya umi, umi juga umi yang paling baik sedunia."
Sesungguhnya jauh dalam lubuk hatiku aku teramat sangat berharap jika laki-laki yang akan umi dan abah perkenalkan padaku adalah Rizky. Tapi kecil kemunkinannya. Karena umi pun tak mengenali Rizky ketika bertemu dengannya. Tapi aku ikhlas, aku hanya ingin membahagiakan umi. Dan aku pun yakin jika memang jodoh, pasti akan bertemu.
****
Esoknya, aku pergi ke kampus seperti biasanya, memandangi suasana kampus yang sudah sedikit berubah ketimbang saat pertama aku memasukinya. Ku lihat di sudut samping kampus, tepatnya di sebuah taman yang rindang karena pepohonan. Ada Rizky yang sedang membaca sebuah buku, rambutnya tampak lebih rapi. Lalu aku mencoba menghampirinya bermaksud ingin menceritakan apa kesepakatan antara aku dan umi. 
Tapi alangkah terkejutnya aku ketika dengan tiba-tiba sikapnya menjadi dingin. Ketika aku menghampirinya, ia pergi menghindar. Hingga hari-hari berikutnya, hingga minggu berikutnya. Entah apa yang ada di fikirannya. Entah apa yang membuatnya berubah. Aku kehilangannya rasanya sakit sekali. Aku ingin bertanya padanya 'APA ALASANMU BERUBAH? APA ADA YANG SALAH DENGAN AKU? KATAKANLAH!'Ya Allah baru kali ini aku rasakan hal sesakit ini, kuatkan aku, tegarkan aku ya Allah. Hanya pada-Mu aku meminta untuk kali ini aku merasa tak sanggup ya Allah.
*****
- Rizky
Maafkan aku Ana, maafkan aku harus menjauhimu. Aku hanya tak ingin tersiksa jika harus terus bersamamu mengembangkan rasa cinta ini. Aku tak sanggup karna aku harus mulai mencintai orang lain. Mencintai seorang wanita pilihan orang tua ku.Bagiku tak ada yang lebih mulia dari ana. Dia sangat mulia, sangat suci. Tersentuh pun ia enggan, bertatapan pun hanya sebatasnya saja. Sedang wanita itu sekalipun aku tak pernah tau siapa dia. Bagaimana sifat dan sikapnya.Ana, sejujurnya hanya kau yang ingin aku persunting untuk menjadi pendamping hidupku. Untuk menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Hanya kau yang aku inginkan. Tapi sedikitpun aku tak berani mententang orangtua ku. Sedikitpun aku tak berani mengatakan tidak.Aku memang tak berguna. Aku harus membiarkanmu menangisi ku, aku harus tega menyakitimu. Aku memang tak berguna. Aku tak kuasa mengatakan apa yang ingin aku katakan padamu. Aku memang tak berguna.Ya Allah hukumlah aku yang telah mencabik-cabik perasaannya. Hukumlah aku yang secara bathiniah telah menganiayanya. Tolong kuatkan dia ya Allah, tegarkan dia ya Allah, lindungi dia selalu karna aku tak berhak melindunginya lagi.

******
Hari ini di rumahku akan kedatangan tamu yang katanya 'tamu istimewa' aku tak tahu siapa yang jelas tamunya adalah teman abah. Umi bilang yang datang satu keluarga, mereka teman abah ketika di desa dulu.
Tak lama terlihat abah berjalan menghampiriku, ku lihat abahku yang gagah dengan pakaian yang ia kenakan.
"Ana." sapa abah.
"Iya bah, ada apa?" tanyaku sembari melipat pakaian yang baru diangkat dari jemuran.
"Ayo cepat beres-beresnya, tamu kita sudah mau datang." tutur abah dengan penuh wibawa.
"Siap abah!" ucapku sambil berdiri dan menghormat pada abah.Ah siapa lagi sih? Hatiku ini sedang tidak dapat diajak berkompromi, sedang tidak dapat diajak bersilaturahmi. astagfirullah.
"Assalamualaikum," ku dengar suara dari balik pintu masuk. Sepertinya itu tamunya. 
"Waalaikumsalam. Ya, sebentar." aku menjawab salamnya lalu membukakan pintu.
"Ini Hasna? Wah cantik sekali ya, tidak salah ya bu." istrinya hanya tersenyum.
"Alhamdulillah, tapi tidak perlu berlebihan gitu pak, mari masuk pak, bu, dan.."
"naufal" sahut anak laki-laki yang nampaknya seusiaku.
"ya, naufal. Pasti tamu abah ya?"
"Iya, abahmu ada nak?" jawab teman abah. 
Tak lama abah pun datang dan segera berbincang-bincang dengan tamunya.Tiba-tiba aku teringat tentang perjodohan itu. Apa dia? Naufal? Karena belakangan ini hanya keluarga ini yang datang ke rumahku. Naufal memang tampan, sepertinya pintar, dan juga anak yang sholeh. Tapi tak ada suatu rasa yang pernah ku rasa sebelumnya. Seperti pada .. Astagfirullah apa yang ada dalam fikiranku. Ah lebih baik sekarang aku pergi saja ke kamar. Rasanya tak sanggup jika memang ini kenyataannya.
*****
"Bagaimana na? Tampan kan?" 
terdengar suara umi di telingaku dan aku pun tersentak kaget.
"Hah? Iya umi? Maaf" aku menjawabnya dengan pertanyaan yang spontan keluar dari mulutku.
"Kamu ini kenapa? Tidak sopan sedang ada tamu kamu malah ke kamar." ujar umi sedikit memarahiku
"Maaf umi, tapi entah mengapa ana tidak nyaman dengannya? Rasanya ingin ana batalkan perjodohan ini."
"loh? Apa hubungannya dengan perjodohan?" tanya umi heran.
"dia calon suamiku kan, mi?" tanyaku yang juga jadi heran.
"bukan ana, bukan naufal. hahaha kamu ini, oh iya nanti malam kita diundang makan malam di rumah calon suamimu."
"benarkah? Kok sekarang aku jadi penasaran ya umi?"
"haha dasar kamu ini, sudah umi mau ke depan lagi."
Aku hanya tersenyum memandang umi keluar dari kamarku. Ah rasanya lega sekali, entah mengapa untuk yang kali ini aku merasa ingin sekali segera bertemu.Malamnya kami pun bergegas menuju rumah si calon, tapi sayangnya aku pun belum mengetahui namanya. Tapi tak apa lah yang penting nanti aku jadi tidak penasaran lagi.
*****
Sekitar 30 menit dari waktu ketika aku berangkat tadi ―pukul 18:30. Rumahnya begitu besar dan luas. Ternyata dia orang yang berada. Kemudian abah menekan bel rumah itu dan dibukakanlah pintu rumah itu oleh pembantunya.
"Silakan masuk, tuan sudah menunggu di ruang tamu." ujar pembantu tersebut.
"Iya terima kasih." jawab abah dengan senyuman.Kami menelusuri rumah itu, subhanallah indah sekali bak istana. Sangat berbanding terbalik dengan keadaan rumahku.
"Hei! Ahmad Nabawi!" terdengar suara dari sebelah kananku. "Apa kabar?" ujarnya lagi.
"Alhamdulillah baik, kau sendiri?" ujar ayah yang menjawab sekaligus memberi pertanyaan.
"Saya juga alhamdulillah baik, ini Hasna Khansa?" tanyanya lagi sambil menatap ke arahku.
"Iya, benar sekali, dimana Rizky?"
Hah? Rizky? Maksud abah Rizky siapa?
"Wah cantik sekali, tak salah saya menjodohkannya dengan Rizky. Oh ya Rizky sedang bersama ibunya. Ayo mari kita ke meja makan saja. Saya sudah lapar."
"Terima kasih, baiklah."
Aku masih tersontak kaget keheranan. Mungkinkah Rizky orang yang sudah aku kenal?Ah tak tahulah. Kami langsung duduk di meja makan, tapi masih menunggu 'Rizky' dan ibunya datang.
"Nah, itu dia." Pak Adam ―ayah Rizky, langsung berbalik dan menunjuk-nunjuk. Sontak aku pun membalik. Hah? Subhanallah ya Allah doaku terkabul. Itu Rizky Peryoga orang yang sangat aku sayangi. Syukron ya Allah, syukron. Hatiku teramat sangat senang.Kami pun makan malam, dan menanyakan aku dan Rizky apakah kami setuju. Dan ternyata dia pun setuju. Hingga ditetapkan hari pernikahan kami nanti 1 bulan lagi setelah aku lulus.
*****
Pagi itu di kampus. Entah kenapa rasanya cenat cenut setelah melewati tadi malam. Ah, legaaaaa sekali rasanya. Aku jadi lebih bersemangat untuk menghadapi sidang nanti. Aku lebih semangat untuk 'menikah' haha. Aduuh kok aku jadi senyum-senyum sendiri gini ya? Ah biar saja lah yang penting aku senaang sekarang.
"halo nona cantik." sapa calon suamiku, hihi.
"halo juga." jawabku dengan senyuman. "Eh kamu kenapa kemarin-kemarin jauhin aku?" tanyaku mengulas kejadian sebelum tadi malam. 
"ya sebenernya karena rencana perjodohan itu." jawabnya.
"kok?" tanyaku heran.
"Iyaa, aku kira calon istriku bukan kamu, jadi aku coba buat lupain kamu demi orangtua dan calon istriku. Eh ternyata yang ini."
"dasar deh kamu, kamu tau gak gimana rasanya DIJAUHIN, DICUEKIN, sama kamu? SAKIIT BANGET tapi gak apa yang penting semuanya udah usai dan aku percaya semua akan indah pada waktunya."
"Maaf banget ya, itu juga kan demi kamu. Eh udah nggak ada mata kuliah lagi kan? Pulang yuk?"
"Udah kok, ya sudah ayoo!"
Hari itu sungguh-sungguh seperti hari terulang dari awal, bahkan menjadi lebih indah. Tapi tetap, saat ini kami tidak pacaran, jalanpun tidak melakukan hal yang abnorma. Karna hukumnya kami masih HARAM. Jika tiba waktunya nanti, barulah kami benar-benar dapat menikmati hidup kami 'berdua dalam cinta'.

Tak terasa, besok pagi jika tak ada halangan aku dan Rizky akan duduk di pelaminan. Mengucapkan ikrar suci dibawah al-quran. Di hadapan penghulu dan disaksikan banyak orang. Banyak orang yang mengatakan, 'harus waspada, biasanya orang mau menikah ada saja halangannya' tapi biarlah, biar Allah yang mengatur semuanya.Ketika hendak tidur, umi menghampiriku.
“Ana.” Sapa umi sambil menghampiriku.
“Iya umi. Ada apa?” tanyaku.
“Bagaimana persiapanmu besok, nak?”
“Alhamdulillahhampir semuanya sudah siap umi. Itu juga berkat bantuan dari umi.”
“Tidak terasa ya, besok kamu sudah menjadi tanggung jawab orang lain. Bukn lagi tanggung jawab umi ataupun abah. Padahal rasanya baru kemarin umi menimangmu, membelai-belai rambutmu yang belum tumbuh lebat, menyusuimu, menggantikan popokmu, meninabobokkanmu. Eh tau-tau kamu sudah akan menikah saja.” Umi berbicara sambil sesekali mengusap titik air matanya yang jatuh.
“Iya umi, rasanya ana baru saja kemarin nangis-nangis minta dibelikan ice cream. Haha. Sudahlah umi jangan menangis. Ana ikut nangis nih jadinya. Umi tenang saja ya, Ana akan sering-sering menengok umi, Ana akan sering datang ke sini. Ke rumah umi daabah, rumah yang penuh kenangan akan kebersamaan kita. Ana juga akan selalu mendoakan umi dalam setiap sujud ana. Ana janji sama umi.”
“Terima kasih ana. Nak, apapun yang terjadi besok. Jika seandainya terdapat kendala apapun itu tanpa terkecuali. Umi mohon jangan sampi batal pernikahan ini. Jangan sampai ditunda, karenaidak baik saying. Apapaun yang terjadi besok kita pasrahkan saja kepada Allah, tapi jangan sampai mengganggu acara pernikahan ini, nak.”
“Insyaalah umi. Semua atas izin Allah, umi doakan saja ya. Semoga besok dilancarkan segalasesuatunya. Amin.”
“Amin. Nak, mulai besok umi tidak dapat memarahimu seenaknya lagi ya. Pasti kamu senang.”
“Justru itu yang akan membuat Ana sangat merindukan umi.” Aku memeluk umi dengan erat, dibalas dengan pelukan umi yang sama eratnya.
“Jika kamu sudah menjadi seorang istri nanti, jangan pernah mendurhkai suamimu ya nak. Berbaktilah kepadanya. Karena ridho Allah juga berada dalam ridho suamimu. Jadilah istri yang shalehah. Bahgiakan suamimu lagir dan batin. Jangan pernah memasang muka masam didepan suamimu ya nak.” Air mata umi semakin lama semakin tumpah membuat suasana seketika hening dengan isak tangis umi dilanjutkan dengan isak tangisku.
“Insyaallah umi. Sudahlah kok jadi nangis-nangisan begini sih, harusnya kan kita semua berbahagia. Eh sekarang seperti sedang perpisahan bahwa salah satu di antara kita akan pergi lama dan jauh sekali. Ayolah umi jangan menangis lagi. Ana tak sanggup menyaksikan air mata umi.”
“Nak, ingat pesan umi. Jangan pernah kamu meninggakan kebahagiaan yang abadi, yang kekal hanya untuk sebuah kebahagiaan yang sesaat lantas hilang. Jangan pernah tinggalkan shalat wajib dan sunnahmu ya nak, dzikirmu, senandungmu dalam shalawat dan Al-Quran dengan merdunya suaramu. Jangan pernah hilang ingatanmu akan surge firdaus yang sering umi ceritakan padamu nak.”
“Insyaallah umi. Ayolah air mata umi jangan dicurahkan lebih deras lagi ana jadi semakin sedih seperti akan kehilngan umi. Jangan buat ana takut umi.” Aku kembali memeluk umi.
“ya sudah sekarang kamutidur ya.” Umi membaringkanku menyelimutiku, mencium pipiku sambil bernyanyi sebuah lagu yang sering umi nyanyikan dulu. Dan kemudian berbisik ‘Umi sangat sayang sekali pada Ana.’
*****
Esok harinya, hari yang aku tunggu-tunggu . hari ini hari dimana aku dan Rizky menjadi halal, dan akan menjalani sebuah rumah tangga yang tentunya aku harap rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warrohmah.
Kamu sepakat sebelum memulai akad seluluh saksi, penghulu dan semua yang ada di mesjid tempat kami akad nikah ini akan melaksanakan shalat dhuha. Aku shalat dengan khusyuknya, setelah salam aku berdoa agar hari ini diberi kelancarandan dimudahkan segala sesuatunya dan semoga pernikahan ini adalah pernikahan yang syah secara agama.
Sesekali ku tengok umi yang berada di sebelahku. Umi sedang sujud, fikirku. Tapi aneh samai aku selesai berdoa dan merapikan muknaku umi tak kunjung jua berdiri atau bergerak. Tidak sama sekali. Aku jadi panik. Ku bisikkan nama umi di telinganya. “Umi” tapi tak ada balasan sedikitpun, kemudian aku menggoyangkan tubuh umi dan astagfirullahhal’adzim tubuh umi tergeletak wajah umi pucat sekali ya Allah. Umiku kenapa? Aku memmriksa keadaan umi disaksikan banyak sekali orang disana. Kulitnya tidak sehangat biasanya. Dingin sekali aku cemas, aku tidak dapat berkonsentrasi. Hingga “bismillahirrahmanirrahim” tak dapat ku raba denyut nadinya. Nafasnya terhenti. Aku coba lakukan pertolongan CPR atau dalam bahasa Indonesia Resusitasi Jantung Paru untuk mengembalikan denyut nadi dan nafas umi tapi nihi. Hingga akhirnya aku pasrah. “Innalillahi wainnailaihiroji’un” air mataku jatuh tak tertahan. Semua orang disana pun menangis-menangis sekencag-kemcangnya.
“Bagaimana pernikahanmu, Nak?” Tanya abah yang juga sedang menangisi kepergian umi.
“Umi memberikan amanat. Hh pernikahan ini harus tetap dilaksanakan apapun yang terjadi pada hari ini.” Tangisku semakin kencang.
“Baiklah, lebih baik sekarang kita langsungkan akad saja, kemudian kita mandikan jenazah.” Ucap pak penghulu.
Kami semua duduk di tengah-tengah masjid. Aku dan Rizky dibalut kesedihan dibawah selendang putih melangsungkan akad nikah.
“Saya terima nikah dan kawinnya Hasna Khansa Huwaida binti Ahmad Nabawi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” ikrar suci itu terucap dari mulut rizky.
“Bagaimana saksi? Sah?” taya pak pnghulu.
“Sah.” Jawab para saksi yang berarti aku dan Rizky resmi menjadi suami istri.
“Alhamdulillah”
****
Setelah pemakaman umi, kami semua kembali tempat acara resepsi. Wangi yang tercium dari tubuh umi saat perjalanan menuju makam masih tercium hangat terasa sampai paru-paruku. Umi, aku tidak menyadari akan apa-apayang terjadi tadi malam antara aku dan umi. Aku tidak menyadari bahwa itu adalah pertanda hari ini. Umi, andai umi tahu, betapa sedihnya aku saat ini, bukan hanya aku, tapi abah, Zalfa dan Fatimah. Terlebih mereka masih membutuhkan umi.
Umi, betapapun umi pernah memarahiku, bahkan memululku tapi tak pernah aku bayangkan jika hari inilah aku kehilangan umu. Aku akan rindu sekali pada suasana yang selalu kita ciptakan berdua. Aku malu umi, aku malu. Aku belum sempat memberikan apapun kepada umi. Yang ada aku hanya bias mengeluh pada umi. Terkadang aku juga suka berbohong pad umi, mencibir umi, dan meggerutu didalam hati karena kesal kepada umi. Tapi astagfirullah aku tidak pernah menginginkan perpisahan ini umi, tidak pernah sama sekali terfikir dalam otakku. Impianku untuk membahagiakan umi. Membawa umi dan abah pergi haji kini sirna. Impianku agar orang pertama yang menimang anakku kelak adalah umi sirna semua. Umi betapa sayangnya aku pada umi. Maafkan atas tingkah dan kelakuanku selama ini yang tak bias membuatmu bahagia malah menambahkan sakit pada hatimu. Kata-kataku yang sampai membuatmu menangis, keakuanku yang sampai membuat sakit hatimu. Umi aku akan selalu mendokanmu disana. Semoga engkau termasuk golongan orang-orang yang menempati surge firdaus. Seperti yang selalu umi ceritakn padaku tentang surge firdaus. Semoga amal ibadah umi diterima disisinya dan di mudahkan saat melewati jembatan siratalmustaqim. Amin ya robbal ‘alamin
****
“Shafira ayo bobo, kamu susah sekali disuruh bobonya.”
“Nyanyiin dulu bunda, balu fila mau bobo.”
“Ya sudah, sini bunda nyanyiin.”
“Mau nyanyi lagu apa bunda?”
“Lagu yang almh. nenekmu nanyikan ketika malam sebelum pernikahan bunda dengan ayah saat bunda hendak tidur. Lima tahun yang lalu, sebelum almh. nenekmu meninggal dunia.”

Di pondok kecil
Bulan purnama
Di tepi pantai
Bulan andalan
Lambai melambai
Ibu memanggil
Duhai anakku si jantung hati
Jaga adik-adikmu
Ibukan pergi jauh
Ke alam baka untuk selama-lamanya
Ku ambil kain putih
Ku tutup wajah ibu
Sambil menangis sedih ku pandang wajah ibu.

Lihatlah umi, malaikat kecilku sudah tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang cantik. Ia selalu ketagihan jika aku nyanyikan lagu itu dan selalu suka jika aku menceritakan tentang umi.
Aku sayang, aku rindu padamu umi.


TAMAT
Devina Gary Oktiana 
2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar