Selasa, 16 Desember 2014

Bingkisan Terakhir

Aku pernah bermimpi menjadi ikan-ikan kecil yang ada di laut lepas. Bebas berenang kemanapun mereka mau tanpa menghiraukan apa-apa yang dapat membahayakan mereka. Berselancar di tengah-tengah hiu raksasa tanpa ada rasa takut. Aku ingin bermain bersaama seperti halnya ikan-ikan itu yang bermain bersama-sama kelompoknya. Bergembira, bercanda, menyusuri dalamnya laut biru dengan kebersamaan. Aku tak akan perduli akan keberadaan ikan-ikan besar yang berada diantara aku dan kawananku. Karena merekalah yang akan menuntunku ke jalan yang seharusnya aku lalui, membuatku tetap pada barisan hingga aku tiada akan pernah tersesat.
Tapi apalah, terkadang apa yang kita impikan terlalu indah, sehingga saat kenyataan yang tak mengindahkan itu datang kita kesulitan untuk membedakan antara mimpi dan kenyataan. Tapi itulah tantangannya. Saat kita harus membangun mimpi setinggi dan seindah mungkin dan siap sedia setiap datang badai menerpa dan meruntuhkan istana mimpi yang telah di buat.
Begitupula aku yang selalu di tuntut untuk menjadi kuat dalam segala hal. Aku harus kuat dan mampu melewati masa-masa kritis ku di rumah sakit kala itu. Aku harus kuat dan merelakan kepergian kedua orangtuaku. Aku harus mampu menjadi kakak juga orangtua untuk kedua adikku di tengah kesulitan ini dan aku harus bertahan hidup. Tak hanya untuk hidupku, tapi uga mempertahankan hidup kedua adik perempuanku yang semuanya masih di bawah dua belas tahun. Dan aku adalah wanita yang KUAT.
Sejak orangtuaku pergi tiga tahun yang lalu, aku sudah terbiasa hidup dengan kesederhanaan dan aku pun sudah bersahabat dengan terik matahari, debu, polusi, keringat, lelah, dan segala-galanya. Tapi aku tak sungkan untuk terus berusaha menyunggingkan senyum tanpa keluh.
Ibuku pernah berkata, “menjadi seorang yang dewasa itu tak semudah mengubah seseorang menjadi anak-anak. Kedewasaan itu lahir ketika sebuah ataupun beribu masalah menghampiri berusaha menikam kita secara perlahan dan bertubi-tubi. Tapi ibu yakin bahwa kau akan menjadi dewasa dengan atau tanpa dasalah, dengan atau tanpa ibu jua ayah, dengan atau tanpa sebuah kebahagiaan. Jangan pernah merasa dirimu dewasa sebelum kau mengerti bagaimana cara untuk menghargai dirimu sendiri terlebih orang lain.” itulah perkataan ibuku yang masih senantiasa melekat dalam ingatanku sebelum orangtuaku meninggal dalam kecelakaan itu. Saat mereka hendak memberiku kejutan pada hari ulang tahunku yang ke-14. Dan sejak itu juga aku tidak pernah lagi merasakan hangatnya pelukan ibu, lembutnya belaian ayah, ciuman di kedua pipiku sambil berbisik “Selamat ulang tahun Karra”
Kini aku tetap tinggal di rumah ibu dan ayah. Toko kue peninggalan ayah masi buka dan aku sebagai pengelolanya. Aku sekolah sembari bekerja. Sekolahku hanya tersisa kurang dari satu tahun lagi. Dan selepas itu saatnya aku bekerja dan bekera untuk kedua adikku, Nania dan Asha Menyekolahkan keduanya. Dan jika mampu, aku pun ingin mengejar impianku. Membangun sebuah perusahaan keluarga yang akan membuat adik-adikku tak perlu lagi berpanas-panasan untuk tiba di sekolah mereka. Perbedaan usia yang cukup jauh dengan kedua adikku tidak membuatku merasa cemas. Karna aku wanita yang kuat.
Di sekolah, aku tergolong anak yang pintar dan mudah bergaul. Aku memiliki banya teman tapi hanya satu dari sekian banyak teman yang benar-benar terikat jiwa dan raganya dengan jiwa dan ragaku. Kami berdua adalah satu. Satu hati, satu jiwa, satu pikiran, juga satu tujuang aku perduli padanya dan dia pun begitu. Jika aku susah, dialah seorang malaikat menolong dan memberiku butir-butir keajaiban yang membuatku lebih tegar.
Dialah malaikatku. Bagiku dia adalah segalanya. Pelukisan tentang dirinya kehidupan nya adalah hal yang paling membuatku remangat. Dia adalah kakakku, dia juga ayahku, dia guruku, dia juga pelatihku, dia juga sahabatku, dialah kotak posku, dialah buku harianku, dialah partner kerjaku, dialah belahan jiwaku, dialah supirku, dialah penjual bunga pribadiku. Dia juga dokter pribadiku. Dia satu-satunya tempat aku menyandarkan bahuku dan terlelap tidur di pelukannya. Dia satu-satunya 'orang asing' yang paling dekat dengan keluargaku. Dialah Ananda Miko, sahabatku.

*****
Beberapa hari yang lalu, aku dan Miko menanam sebuah tanaman. Tepatnya bunga matahari di pekarangan rumahku. Miko memberi bibitnya sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-16. Dia memberinya sambil berkata "Rawat bunga ini baik-baik jika nanti kita tidak bisa sesering ini bertemu. Datang dan ciumlah kelopak bunga ini maka aku dapat merasakan bahwa kamu sedang merindukanku, Ra."
Dengan ketulusan dari matanya, aku yakin dia tidak akan sampai hati untuk meninggalkanku. Tapi dari cara bicaranya seperti ada sesuatu yang tersembunyi dan sengaja ia sembunyikan dariku.
Setelah hari itu semua berjalan seperti biasanya. Tak ada yang berubah. Seperti biasa pula aku mengantarkan Asha dan Nania ke sekolah mereka masing-masing dengan mengayuh sepeda beroda dua itu. Dan aku pergi melanjutkan lancongan ku ke sekolahku sendiri. Dikelas, aku bertemu dengan Miko, tapi ada sedikit perbedaan dalam raut wajah Miko. Pagi itu dia tampak pucat. Warna bibirnya berbeda dari biasanya. Pagi ini warna bibirnya lebih keunguan. Matanya terlihat begitu sayu. Dan muncul keringat dingin di sekitar wajahnya.
"Miko, kamu kenapa? Sakit? Coba aku check." tuturku pelan sembari menaruh tanganku di keningnya untuk men-check temperatuh tubuhnya. "Badan kami dingin sekali, Mik. Lebih baik kamu ke UKS. Agar mendapat perawatan dari dokter yang ada di UKS,"
ujarku sembari menaruh tasku di sisi mejanya.
"Tidak perlu, Ra. Aku baik-baik saja kok. Hanya sedikit kelelahan saja." jawabnya lesu lebih pelan dari suaraku yang sudah cukup pelan.
"Tapi Miko..."
"ssst" potongnya sambil menempelkan telunjuknya di bibirku. "aku baik-baik saja Karra, kamu tenang saja. Lebih baik kamu duduk disini. Aku ingin bersandar di bahumu lagi." tuturnya semakin pelan. "yasudah, sini." jawabku sambil menyandarkan kepala Miko ke pundakku. Aku tahu seruatu dari diri nya dan langsung bicara padanya.
"Kamu bohong Miko. Kamu sakit." Tuturku penuh perhatian. Tapi tak terjawab sama sekali. Satu menit, dua menit, sepuluh menit. Aku berfikir barangkali dia tertidur.
Hingga akhirnya bel pelajaran pertama dimulai dia tak kunjung jua terjaga. Ketenanganku saat itu seketika beralih haluan menjadi kecemasan. Terlebih ketika aku mencoba menggoyangkan tubuh Miko dan memaksanya untuk bangun tetapi sia-sia. Tubuhnya yang semula gemetar kini tenang dengan suhu yang kian lama kian dingin membeku bak es di kutub selatan. Seketika air mataku menetes membasahi kepala Miko yang sedang bersandar di bahuku tanpa gerakan sekecil apapun. Entah mengapa air mata itu jatuh, debar jantungku semakin cepat, semakin membuatku tak karuan, aku gelisah, aku cemas. Dengan spontan aku berteriak mengheningkan suasana, "TIDAAAAK!!!!" Semua orang menoleh ke arahku saat itu. Air mataku pun tak dapat terbendung lagi dan menetes di tubuh Miko. Ku peluk erat tubuhnya yang terkujur kaku. Ku peluk dengan eratnya sambil terus menangis. Ku dapati telinganya dan perlahan ku bisikkan sesuatu dengan teramat pelan. "selamat jalan Miko. Finally i've been alone all along without you."
Ya! That's right! Miko telah meninggal dunia karena hasil diagnosa dan vonis dokter yang menyatakan bahwa ada kanker pada kelenjar getah bening dalam tubuhnya yang telah berada disana sejak lama. Sejak ia kecil, sejak ia belum bertemu denganku. Ia meninggalkan banyak sekali kenangan manis saat kami berdua berjalan beriringan di pinggiran trotoar kota siang itu. Kenangan akan semua cinta dan cita yang ia pernah tunjukan kepadaku.
Hilanglah satu nama lagi dari pelupuk mataku setelaq ayah dan ibu, kini satu-satunya orang yang menjadi tonggak hatiku pun kini telah gugur. Saat-saat ini adalah saat terburuk ke-2 dalam hidupku. Pakaian hitam-hitam inilah yang akan membawa ku ke tempat peristirahatan terakhir Miko. Nania dan Asha juga turut mengantarkan kakak laki-lakinya ke dalam liang lahatnya. Miko, Miko, dan Miko, hanya nama itu yang terfikir olehku jejak dan sampai saat ini tepat 100 hari kepergiannya.

*****
Sore itu, saat aku mengantarkan adikku pergi ke Taman Pendidikan Al-Quran untuk belajar mengaji, aku berpapasan dengan seorang pemuda yang nampaknya sebaya denganku. Entah siapa, yang jelah dia telah membuatku sedikit tersandung dan jatuh. Matanya dan caranya menatapku mengingatkanku akan seseorang yang sangat dekat denganku. Seseorang yang biasa menyapaku cukup dengan dua huruf R dan A. Dia mengingatkanku akan...
"Maaf ya! Aku tadi tidak sengaja!" ucapnya membuyarkan fikiranku dan membangkitkan dari lamunanku.
"Oh, iya tidak apa-apa kok." aku sedikit mengulas senyum dan dia pun berbalik senyum terhadapku.
"Benar nih, kamu baik-baik saja? Kalau mau bisa ku anar kau pulang." ujarnya dengan sedikit tertawa.
"Iya jujur aku baik-baik saja. Benar." jawabku meyakinkan nya.
"Oh ya! Aku Revo, baru pindah ke sini."
"Karra. Oh, pantas saja aku tidak pernah melihat kau sebelumnya. Kalau begitu aku permisi pulang dulu."
"Oh, iya baik silahkan."
Pertemuan itu, aku harap yang terakhir kalinya karna sangat benar wajahnya mengingatkanku pada ... MIKO ... Tapi tidak dengan cara berpakain nya. Miko lebih lembut sedangkan Revo terkesan 'slengean'.
Tapi ternyata harapan itu tak terkabulkan. Pagi itu di sekolahku, lebih tepatnya lagi di kelasku ada siswa baru pindahan dari luar kota. Dan God! Dia.. REVO!! dan karena satu-satunya bangku yang kosong itu adalah bangku yang ada satu meja denganku. Bangku yang biasanya di duduki oleh MIKO kini harus di tempati oleh orang lain. Sedikit banyak rasa emosi, tetapi tetap saja disi sekolah yang mengatur. Tapi mengapa harus Revo? Revo yang mengingatkanku akan sosok Miko, Revo yang membuatku semakin merindukan sosok Miko. Ananda Miko dengan Rayhan Revo Saputra.
"Karra!" dia tersenyum dan seperti pertama kali kami bercakap. Dia membuyarkan lamunanku.
"Hah? Iya. Kenapa?" aku yang sedikit kaget bertingkah seperti orang yang habis di buru penjahat. Nafasku tak teratur. Jantungku berdegup dengan kencangnya. Pipiku merah merona.
"Oh, nggak ada apa apa kok, aku hanya menyapa saja. Aduh maaf ya aku jadi membuatmu seperti kepiting rebus gitu. Hehe" dia tertawa kecil.
Oh Tuhan dia meledek ku. Pemikiran yang sempat terbesit bahma dia seperti Miko hilanglah sudah. Dia berbeda dengan Miko. Sangatlah berbeda.
Aku tetap pada pendirian yang aku buat saat itu that REVO ISN'T MIKO! NOT NOW AND NOT FOREVER!!! Tapi semakin aku ingin menjauh dari Revo semakin dia berusaha untuk tetap membuatku berada di dekatnya. Aku pernah sesekali memberontak mengapa dia bersikap seperti itu. Tapi itu tak mengurungkan niatnya untuk menjauhiku. Ada yang aneh dan tersembunyi dalam dirinya.
Semakin hari dia semakin menunjukkan perhatian nya padaku jua pada kedua adikku. Suatu hari dia pernah membuntutiku saat mengantarkan adikku ke TPA dan saat tiba waktunya pulang aku telah tau bahwa Asha telah di bawa pergi oleh Revo. Asha bermain-main dengan Revo. Dia terlihat senang sekali. Ini pertama kalinya aku melihat Asha sesenang itu setelah kepergian Miko.
Semakin lama aku semakin merasa bahwa Revo adalah bayangan dari Miko. Bahkan sempat aku berfikir bahwa arwah Miko masuk ke dalam tubuh Revo, bahwa Revo adalah jelmaan dari arwah Miko. Tapi itu sangatlah mustahil. Aku terus mencari alasan-alasan yang masuk akal tentang keberadaan Revo yang tepat sekali kemunculannya dengan ketiadaan Miko. Entah apa tujuan Revo masuk ke dalam kehidupanku. Dia mencoba bermain dengan Asha, mengajaknya pergi, membelikannya balon dan ice cream seperti yang pernah Miko lakukan. entahlah aku tidak mengerti. sungguh.

*****
Hari itu ban sepedaku bocor. entah ada yang sengaja membocorkan ban sepedaku entah aku sendiri yang teledor. Tak tahulah yang jelas karena hal itu aku harus pergi kesekolah berjalan kaki.
Saat aku telah menapaki setengah perjalanan, ada bunyi lonceng sepeda berdering dari balik telingaku.
"Kring-Kring.. kring-kring"
Ah, paling hanya seorang penjual siomay, fikirku. aku terus melanjutkan perjalananku menuju ke sekolah tiba-tiba sebuah sepeda yang di kendarai seorang anak laki-laki yang sepertinya sebaya denganku menghadangku dan berhasil mengagetkanku.
"KARRA!!!" sapanya jahil.
"Astagfirullah, Revo! Kamu membuat jantungku hampir copot tahu!" Sahutku dengan jantung yang masih berdegup kencang karena kaget.
"Ya maaf deh. eh kok tumben sekali kamu tidak membewa sepedamu. memangnya ada apa dengan sepedamu?" tanyanya.
"Ban sepedaku bocor, entah apa penyebabnya sehingga aku harus berjalan kaki hingga sampai di sekolah.
"Yasudah kalau begitu naiklah ke sepedaku. biar ku antar kamu."
"benarkah?"
"ya, cepatlah naik. kecuali kau ingin kita terlambat masuk ke keas."
"baiklah."
kami berdua berboncengan salam sebuah sepeda yang nampaknya masih baru ini dan tiba di sekolah tepat waktu. aku tak menyangka dia sebaik itu. aku fikir dia itu orang yang menjengkelkan dan jahil. tapi memang sih dia menjengkelkan tapi ternyata dia juga memiliki sisi baik yng tak aku ketahui.

*****
suatu hari, Revo mengajakku main ke rumahnya. aku pun tak segan. karena pada hari itu aku telah menjalkin persahabatan dengan Revo, layaknya aku dengan Miko. meskipun tak sehangat saat akau bersama Miko.
Siang itu dia bilang dia ingin mengajakku pergi berkeliling kompleks menggunakan sepedanya. tapi saat aku ke rumahnya aku melihat dia yang masih berada dalam ranjang di kamarnya. maka aku segera menyuruhnya mandi. kamar ini juga dulu adalah kamar Miko. rumah ini di jual kepada keluarga Revo setelah kepergian Miko. aku rindu sekali bercanda tawa dengan Miko di kamar ini. kami sering menghabiskan waktu untuk tidur di bawah kasur Miko. karna itu tempat rahasia kami berdua.
di meja kamar Revo, aku melihat sebuah buku harian entah milik siapa. aku penasaran, kubuka satu persatu halaman. di halaman pertama ku lihat ada dua buah kata tertulis ANANDA MIKO. hah?! apa-paan ini? notes Miko ada di kamar Revo? ini tidak mungkin. aku berusaha berfikir positif. oh mungkin saat berkemas notes ini tertinggal. ya, mungkin saja.
kemudian aku membacanya satu persatu. di buku itu ditulis namaku, saat-saat indah bersamanya saat itu seakan terekam kembali lewat buku harian itu, tetapii belum sempat ku baca seluruhnya. Revo keluar dari damar mandinya.
"Karra! sedang apa kau disitu?" tanyanya.
"Oh, aku.. aku tidak sedang apa-apa kok. sungguh. aku hanya melihat-lihat isi kamarmu saja." jawabku gugup
"oh begitu, yasudah keluar gih, aku mau memakai pakaian dulu."
"baiklah."
aku pun keluar dari kamarnya. aku berusaha tenang dengan pergi ke dapur dan meminum segelas air putih. sementara itu Revo sedang memakai pakaian di kamarnya.
"Ka, mungkin sekarang saatnya Karra tau semuanya." Revo berbicara sendiri sembari mentap buku harian Miko.
Tak lama kemudian Revo keluar dari kamarnya dan segera mengajakku pergi dengan sepedanya. dia bilang, di aingin mengajakku ke suatu tempat. tempat rahasia yang hanya di ketahui oleh ia, dan kakaknya yang sudah meninggal. aku penasaran. kemudian kami tiba di suatu tempat yang benar-benar asing bagiku, tapi tempat ini layaknya tempat yang hanya ada di dalam mimpi. karna luar biasa indahnya. tapi ini nyata. sungguh nyata. bahkan aku tak percaya bahwa ada tem,pat seindah ini.
"Nah, ini tempatnya!" bisik Revo pelan.
"Tempatmu, dan kakakmu? siapa yang menemukan tempat ini?" tanyaku.
"Kakakku, dia menemukan ini. dia bilang ini adalah tempat yang akan dijadikan tempat rahasia kedua antara dia dan sahabatnya yang sesungguhnya ia cintai. dia akan menghadiahkan tempat ini kepada gadis itu saat ulangtahunnya yang ke-17. yaitu jatuh pada hari ini. tapi sayang dia harus pergi sebelum ia sempat menghadiah tempat ini. jadi ini merupakan bingkisan terakhir dari kakakku yang ia titipkan padaku untuk di berikan kepada gadis itu." ceritanya sambil sesekali mengusap air matanya. ia menangis, tapi hanya menangis kecil. dari situ aku tahu bahwa ia sangat menyayangi kakanya.
ketika it\a bercerita tadi, sejenak terbesit bayangan Miko di fikiranku. tempat rahasia kedua, ulang tahun yang ke-17. dan, oh Tuhan. hari ini kan aku berulang tahun yang ke-17 apakah maksud dari gadis dan kakaknya iutu adalah..
"Karra, mengapa kau terdiam?" tanyanya singkat.
"aku takjub. siapa gadis itu? beruntung sekali dia. apakah kau sudah memberitahukan tentang tempat ini? dan siapa kakakmu?" aku bertanya penasaran.
"sungguh kau ingin tahu?" tanyanya lagi.
"sungguh." jawabku.
"gadis itu adalah kau, dan kakakku adalah.."
"MIKO!" aku memotong pembicaraannya. "Oh Tuhan, kau adik kembarnya Miko? yang tinggal bersama nenek-dan kakekmu di Surabaya itu?"
"ya Karra. kau sangat pintar. pantas saja kakakku jatuh cinta padamu. karna kau memamg pintar"
"jadi selama ini?"
"Ya, dia mencintaimu, dia menyayangimu, lebih dari yang kau tau. dulu dia sangat pasrah akan hidupnya. tapi setelah mengenalmua, dia berusaha mati0matian untuk selalu bertahan. hanya untukmu. dan inilah bingkisan terakhir yang tak sempat dia berikan kepadamu, Karra. tugasku sudah selesai sekarang."
"Ya Tuhan. Miko sahabatku, aku tak pernah tahu sebesar itu perjuanganmu. demi aku. Revo! tapi mengapa dia tak pernah mengatakan hal ini kepadaku?" aku menangis sedapat-dapatnya, sekencang-kencanngnya.
"karena itulah yang dinamakan persahabatan dan ketulusan cinta yang dia miliki. berkorban tanpa harus memberi tahu kepada orang yang akan menikmati jerih payah pengorbanannya. dan aku berterimakasih kepadamu Karra. berkat kau, kakakku dapat tenang di peristirahatan terakhirnya. berkat kau, dia tak pernah nempak murung selama detik-detik terakhir kepergiannya. terima kasih Karra."

Sejak saat itu aku tahu semuanya. Aku mengetahui pengorbanannya. Aku mengetahui ketulusannya. Miko, meskipun kini ragamu tiada lagi disampingku, tidak dapat menemaniku memandang langit di tempat ini, tapi bagiku kau nyata, jiwamu tetap bersandar di hatiku. karna hati kita satu, jiwa kita satu. dan kita adalah selamanya. selamanya adalah kita. karna kau adalah sahabatku, sahabat dan kekasihku meski tak pernah terikrarkan. meskipun kita tak pernah berkata cinta, tapi kita telah mengintimkan hubungan kita sebagai sahabat. hati kita yang bersatu selamanya. terima kasih atas atas bingkisan terakhirmu untukku ini. aku akan menjaga tempat ini selamanya. aku menyayangimu.

by: devina gary oktiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar